Kondisi bisnis penerbangan Indonesia tahun 2016 seyogyanya sudah cukup menggembirakan. Margin keuntungan global sektor penerbangan diperkirakan meningkat menjadi rata – rata 5,1% Pada tahun 2016 menurut International Air Transport Association (IATA). Perkembangan bisnis yang baik ini tidak terlepas dari perkembangan pasar dan dukungan beberapa variable dalam penerbangan yang salah satunya adalah sub sektor Sumber Daya Manusia Penerbangan.

Bagaimana dengan SDM pilot saat ini? Apakah kuantitas pilot lokal kita sudah mencukupi. Agak sulit untuk menjawabnya, tetapi menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi seperti dilansir media detik pada 8 September 2016 “Dikatakan kurang ya kurang. Dikatakan lebih ya lebih. Oleh karena itu saya sampaikan mengapa itu terjadi karena dibutuhkan jumlah pilot yang terverifikasi”.

Apakah jumlah pilot kelebihan? Dalam kenyataannya saat ini jumlah pilot lokal sudah surplus dengan indikasi adanya 700 – 800 pilot lokal abinitio (pemula) yang belum tertampung di berbagai operator penerbangan alias menganggur.

Apakah jumlah pilot juga kurang? Dengan asumsi bahwa tahun 2017 diproyeksikan akan terjadi penambahan pesawat sebanyak 70 pesawat dengan komposisi 1 pesawat : 5 set pilot (10 pilot) maka akan didapatkan jumlah kebutuhan penambahan pilot untuk tahun 2017 sebanyak 70 X 10 = 700 pilot. Jika saja asumsi itu benar maka seharusnya saat ini tidak terjadi pengangguran pilot karena semestinya sudah dilakukan rekrutmen pada tahun 2016 untuk mulai aktif pada tahun 2017. Tetapi ternyata masalah lebih atau kurang dalam profesi pilot tidak semudah dan sematematis itu dalam menjabarkannya.

Secara perhitungan tidak semua jenis pesawat memerlukan komposisi 1:5 seperti asumsi di atas. Jika saja proyeksi penambahan pesawat tersebut terdiri dari berbagai varian baik jenis propeller atau jet dengan perbandingan yang berimbang, maka akan didapat variasi komposisi dari 1:3 – 1:5, sehingga median yang diambil pada rata – rata 1:4 (8 pilot). Kemudian dengan asumsi akan terjadi pengurangan jumlah pilot karena faktor usia (pensiun) dan faktor lainnya sebanyak 40 pilot per tahunnya, maka untuk tahun 2017 proyeksi kebutuhan penambahan pilot menjadi (70 X 8) + 40 = 600 pilot.

Pada saat ini saja diperkirakan telah beroperasi sekitar 1100 pesawat (per 2013 sekitar 846) dengan berbagai jenis dan sejumlah pilot lokal aktif pada kisaran 9000 pilot (per 2014 sekitar 8687). Dari jumlah pesawat tersebut dengan komposisi median 1:4 set, maka akan terhitung 1100 X 8 = 8800 pilot yang dibutuhkan untuk mengoperasikan pesawat pada saat ini. Jika pada tahun 2016 terdapat sekitar 600 pilot asing yang tersebar di berbagai operator maka potensi pengangguran pilot lokal akan menjadi 9000 – (8800 – 600) = 800 pilot. Angka ini cukup masuk akal bila melihat kondisi yang terjadi pada saat ini dan akan dibawa kemana sejumlah 800 pilot ini? Apabila sejumlah 600 pilot asing ini dialihkan alokasinya untuk pilot lokal maka akan cukup besar kontribusinya dalam mengurangi angka pengangguran pilot pada saat ini.

whatsapp-image-2016-09-09-at-01-08-02

whatsapp-image-2016-09-09-at-01-08-22

 

Informasi mengenai jumlah kebutuhan pilot melalui berbagai media akhir – akhir ini entah disengaja atau tidak disengaja sebenarnya telah menjadi distorsi informasi yang signifikan. Distorsi informasi tersebut secara langsung berpotensi sangat merugikan bagi eksistensi dari profesi pilot. Tentu saja, baik untuk disadari bahwa distorsi informasi ini harus segera dihentikan karena akan berdampak pada ketidakseimbangan “Demand” dan “Supply”.  Ketidakseimbangan ini terutama “Over Supply” akan sangat buruk dampaknya karena hanya akan menguntungkan lembaga pendidikan penerbangan dari keuntungan yang didapat dari biaya pendidikan dan menguntungkan operator karena akan mendapatkan tenaga kerja pilot yang murah atau tanpa biaya investasi SDM dengan persyaratan atau perjanjian kerja yang dibuat tidak seimbang dengan alasan paradigma “jangan membeli kucing dalam karung”. Mengatasi permasalahan akan kebutuhan pilot tidak bisa hanya dengan perhitungan matematis saja, tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan kebijakan dan ketegasan dari regulator atau pemerintah.

Untuk menjadi pilot bukanlah sesuatu hal yang terlalu sulit apabila disertai dengan semangat hanya untuk mendapatkan lisensi saja. Yang lebih sulit dan tersulit adalah menjawab tuntutan untuk menjadi pilot profesional. Pilot tidak hanya berkutat dengan aspek motorik saja yang biasa disebut “Stick and Rudder”, akan tetapi meliputi multi aspek diantaranya aspek kognitif, motorik, psikologis, jasmani dan analisis. Kualitas pilot harus tetap dijaga pada posisi tertingginya dalam menjamin tingkat keselamatan penerbangan yang diharapkan, demikian juga kualitas dari lulusan pilot abinitio (pemula). Dalam menjaga kualitas ini, pihak regulator tidak bisa hanya dengan menghimbau lembaga pendidikan penerbangan untuk meningkatkan kualitas dan daya saingnya saja, tetapi perlu untuk melakukan penetapan kebijakan ataupun regulasi dan mengawasi pelaksanaan regulasi secara benar dan tegas.

Penataan jenjang karir bagi profesi pilot secara nasional sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan. Penataan ini dimaksudkan bukan untuk menjegal ataupun menyulitkan pofesi pilot tetapi jauh ke depan akan sangat membantu verifikasi yang dilakukan regulator dalam melakukan fungsi kontrol terhadap SDM penerbangan ini. Tentu kita semua menginginkan adanya satu sistem karir yang tertata sejak dari rekrutmen sampai dengan pensiun. Terutama Negara kita yang merupakan Negara kepulauan yang tersebar dari sabang sampai merauke, selain pilot yang aktif di maskapai besar, diperlukan pula banyak pilot untuk aktif di maskapai komuter atau perintis sehingga moda transportasi udara ini benar – benar dapat mendukung terlaksananya pemerataan dan penyebaran pembangunan sampai ke daerah pelosok tanah air. Menerbangkan pesawat besar atau pesawat jet bukanlah suatu keharusan atau kebanggaan bagi profesi pilot, tetapi lebih merupakan faktor kemampuan dan kesempatan saja. Kebanggaan terbesar bagi seorang pilot adalah jika tetap selamat dalam catatan karirnya sampai di usia pensiun. Di sisi lain pun kesejahteraan atau remunerasi yang ada harus disesuaikan agar tidak terjadi ketimpangan yang ekstrem antara pilot maskapai dan pilot perintis. Di beberapa Negara telah dilakukan penataan karir seperti ini dimana regulator berperan aktif dalam menetapkannya, seperti contoh yang ada pada diagram dibawah yang berlaku di Selandia Baru.

 

whatsapp-image-2016-09-08-at-23-19-02

 

Selain jenjang karir konvensional tersebut di atas ada juga alternatif mengenai jenjang karir untuk menjadi pilot maskapai yaitu dengan pengaplikasian skema Multi-crew Pilot License (MPL) yang sudah dicanangkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dalam Annex 1 sejak tahun 2006. MPL merupakan suatu pengembangan yang signifikan berdasarkan pendekatan kompetensi dalam pelatihan pilot professional. Aplikasi dari skema MPL ini memerlukan kerjasama yang baik antara Operator, Lembaga Pelatihan Penerbangan dan Regulator sehingga keluaran dari program ini benar – benar memiliki kualitas yang baik dan bermutu tinggi dari segi kompetensi. Tetapi tentu saja untuk mengaplikasikan skema ini membutuhkan kesungguhan dari Regulator dan waktu yang masih cukup panjang.

 

whatsapp-image-2016-09-09-at-04-08-51

 

Usia produktifitas profesi pilot perlu untuk dikaji ulang untuk lancarnya proses produksi dan regenerasi pilot di masa depan. Setiap Negara memiliki aturan yang berbeda mengenai batas usia pensiun bagi seorang penerbang, mulai dari usia 60 tahun sampai dengan usia 70 tahun. Tidak ada salahnya jika dilakukan studi kembali mengenai batasan ini sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang termutakhir saat ini. Apakah batasan usia 65 tahun masih relevan atau tidak masih perlu untuk dirumuskan bersama dengan mempertimbangkan kondisi saat ini dan proyeksi masa depan.

Proyeksi bisnis dan kegiatan ekspansi dari operator sudah sewajarnya juga berada dalam koordinasi dan kontrol regulator. Perizinan yang diberikan jangan hanya dilihat dari prospek keuntungan yang didapat saja tetapi harus diawasi sejak dari proses persiapannya. Bagaimana operator akan berekspansi jika SDM yang ada belum memadai? Disinilah peran regulator sangat penting dalam memutuskan yang terbaik bagi kepentingan banyak pihak. Dengan dilakukan kontrol yang baik maka regulator akan mampu secara tepat melakukan penghitungan dan proyeksi akan kebutuhan SDM dan operasional sektor penerbangan secara integral.

Penanganan mengenai pilot asing pun tidak luput untuk dilakukannya pembatasan yang jelas. Memang tidak ada sama sekali peraturan yang mengatur komposisi antara pilot lokal dan pilot asing di Negara ini, akan tetapi UU yang menyangkut hal itu tetap harus ditegakkan. Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan mengenai penggunaan tenaga kerja asing harus diimplementasikan. Masa penggunaan tenaga kerja asing tidak boleh lebih dari 2 tahun per orangnya. Hal yang tidak kalah penting adalah mengenai aspek keamanan Negara. Apakah “Security Clearance” terhadap pilot asing sudah dilakukan secara benar selama ini? Konsekuensi dari pekerjaan pilot adalah menjelajah ke berbagai daerah hingga daerah terpencil sekalipun. Dengan konsekuensi tersebut tidak tertutup kemungkinan terjadi pencurian informasi atau kegiatan spionase yang dilakukan. Akan menjadi suatu kekawatiran apabila hingga saat ini masih banyak terdapat pilot asing yang dipekerjakan untuk penerbangan nasional dan akan memalukan bagi Negara apabila masih didapati pilot asing yang bersedia terbang pada penerbangan perintis tanpa dibayar yang terkesan hal ini adalah suatu bentuk perbudakan terselubung. Kemudian bagaimana dari sisi profesinya? Harus dilakukan pembatasan bahwa minimum tenaga kerja asing pilot harus memiliki lisensi Airline Transport Pilot License (ATPL). Hal ini untuk memastikan bahwa tenaga kerja asing yang digunakan memang sudah memiliki jam terbang yang cukup sehingga layak untuk mengisi kekosongan untuk sementara waktu dan di sisi lain akan membuka kesempatan yang luas bagi generasi pilot muda lokal untuk mencapai lisensi tingkat ATPL.

Penanganan permasalahan kebutuhan pilot ini sudah semestinya dilakukan oleh regulator atau pemerintah. Akan membahayakan bila mekanisme yang ada dilepaskan melalui mekanisme pasar secara bebas tanpa adanya fungsi kontrol yang tegas dari pemerintah. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa SDM penerbangan ini menyangkut kepada manusia yang memiliki hak asasi dan bukanlah manusia yang harus diperlakukan layaknya obyek bisnis dan sebagai alat produksi.

Apalagi yang kita tunggu untuk merubah semua ini? Banyak hal yang bisa kita lakukan mulai dari sekarang dalam membangun penerbangan nasional. Berikan dukungan kepada regulator untuk berbenah, meningkatkan kemampuannya dan berani untuk tegas karena runutan dari masalah yang membesar saat ini adalah hasil dari kelengahan dan kekurangan regulator negeri ini di waktu sebelumnya.

 

Salam Penerbangan,

Capt. Heri Martanto, BAv.

2 pemikiran pada “Indonesia Sedang Krisis Pilot, Benarkah?

Tinggalkan komentar