Mengapa Bandara IMIP Membutuhkan Kehadiran Negara: Perspektif Pengawasan, Kedaulatan, dan Tata Kelola SDA Strategis

Mengapa Bandara IMIP Membutuhkan Kehadiran Negara: Perspektif Pengawasan, Kedaulatan, dan Tata Kelola SDA Strategis

Sebagai negara yang tengah membangun kekuatan industri berbasis sumber daya alam, Indonesia berada pada momentum sejarah yang sangat penting. Nikel, yang dulu dianggap komoditas biasa, kini menjadi mineral kritis global untuk baterai dan kendaraan listrik. Pergeseran ini menjadikan Indonesia—melalui kawasan-kawasan industri seperti Morowali—sebagai pemain utama dalam rantai pasok mineral strategis dunia.

Di tengah konteks ini, keberadaan Bandara IMIP di Morowali menjadi sorotan. Sebagai bandara khusus yang berlokasi di dalam kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, bandara ini secara formal legal dan telah terdaftar di otoritas penerbangan. Status administratifnya jelas, dokumentasinya lengkap, dan operasinya telah berlangsung bertahun-tahun. Namun, satu hal yang tidak boleh kita abaikan adalah: legalitas operasional tidak otomatis menjawab kebutuhan negara untuk hadir secara langsung di fasilitas yang berada di jantung pengelolaan SDA strategis.

Inilah mengapa pernyataan Menhan terkait urgensi kehadiran negara di Bandara IMIP terasa relevan dan penting. Bandara di kawasan industri logam strategis bukan sekadar fasilitas transportasi; ia adalah gerbang yang menghubungkan aset nasional dengan dunia luar. Ia menjadi simpul di mana manusia, barang, teknologi, dan informasi bergerak keluar masuk. Dan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, simpul seperti ini tidak boleh berdiri tanpa pengawasan negara yang memadai.

Sebagai praktisi aviasi yang bertahun-tahun berkecimpung dalam safety, governance, dan operasional kompleks, saya melihat persoalan ini bukan dari sudut pandang politik atau kontroversi publik, tetapi dari sudut pandang tata kelola risiko. Ketika sebuah bandara berada di dalam kawasan industri kritis, tingkat kompleksitas dan risikonya meningkat—baik risiko keamanan, kepatuhan, maupun integritas rantai pasok.


Bandara IMIP: Legalitas Tidak Menutup Kewajiban Kehadiran Negara

Penting untuk menegaskan kembali bahwa Bandara IMIP adalah bandara yang legal. Ia memiliki:

  • kode ICAO dan IATA
  • izin sebagai bandara khusus
  • basis operasional yang terdaftar
  • standar bandara kelas 4B
  • fasilitas pemadam kebakaran dan keselamatan sesuai kategori
  • catatan penerbangan dan penumpang yang jelas

Artinya, tidak ada yang salah dengan legalitas formalnya.

Tetapi legalitas hanyalah pondasi. Sesuatu yang legal masih harus memenuhi aspek pengawasan, governance, dan akuntabilitas publik. Di sektor yang sensitif seperti pengelolaan mineral strategis, negara harus hadir bukan karena bandara itu ilegal, tetapi karena bandara itu terlalu penting untuk tidak diawasi.

Inilah poin yang menurut saya kurang dipahami dalam diskusi publik:
Legal tidak berarti bebas dari pengawasan negara.
Legal tidak berarti cukup dengan SOP internal perusahaan.
Legal tidak berarti negara boleh pasif.

Sebaliknya, semakin legal dan semakin besar skala operasionalnya, semakin besar juga tanggung jawab negara untuk menempatkan fungsi pengawasan di sana—baik Imigrasi, Bea Cukai, Karantina, otoritas aviasi, maupun unsur keamanan.


Kawasan Industri SDA: Risiko Strategis yang Tidak Dapat Diserahkan ke Pihak Swasta

Morowali bukan kawasan industri biasa. Ia adalah pusat pengolahan nikel terbesar di Indonesia, salah satu yang terbesar di Asia, dan menjadi benchmark global untuk hilirisasi mineral. Di kawasan seperti ini, mobilitas barang dan manusia bukan sekadar aktivitas rutin; ia berdampak langsung pada:

  • stabilitas ekonomi nasional
  • pasokan mineral strategis dunia
  • diplomasi industri Indonesia
  • investasi jangka panjang
  • keamanan nasional

Dalam dunia aviasi, setiap bandara adalah entry point, dan setiap entry point harus berada dalam pengawasan negara. Tidak ada negara yang menyerahkan pintu gerbang industri strategisnya sepenuhnya pada entitas swasta. Bahkan di negara maju sekalipun—Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok—bandara di dalam kawasan industri pertahanan atau energi selalu memiliki kehadiran otoritas negara.

Mengapa? Karena pemerintah tidak bisa mengandalkan mekanisme internal perusahaan untuk mengendalikan risiko strategis.

Bayangkan jika di kawasan seperti Morowali:

  • terjadi perpindahan barang yang tidak tercatat
  • pekerja asing keluar masuk tanpa screening negara
  • peralatan berteknologi tinggi berpindah lokasi tanpa izin
  • sampel mineral strategis dibawa keluar tanpa dokumentasi
  • lalu lintas udara tidak terhubung langsung dengan sistem keamanan nasional

Satu celah saja cukup untuk menimbulkan risiko ekonomi dan keamanan yang signifikan. Dan karena itulah bandara menjadi simpul utama yang harus diawasi negara.


Mengapa Kehadiran Negara Bukan Ancaman bagi Fasilitas Swasta

Ada kesan seolah-olah kehadiran negara berarti menutup ruang gerak industri atau menghambat kegiatan operasional. Menurut saya, perspektif ini keliru. Dalam dunia aviasi dan industrial governance, pengawasan negara justru memberikan tiga manfaat strategis:

  1. Memberikan legitimasi lebih kuat bagi operasional bandara : Ketika negara hadir, publik tidak akan mempertanyakan apakah sebuah bandara mengabaikan prosedur pengawasan. Semua menjadi lebih transparan dan akuntabel.
  2. Mengurangi resiko bagi perusahaan : Dengan adanya petugas negara, perusahaan tidak lagi harus menanggung risiko hukum jika terjadi penyalahgunaan fasilitas oleh individu tertentu.
  3. Membangun trust internasional : Investor, pemerintah luar negeri, serta partner internasional akan lebih percaya pada industri yang berada dalam pengawasan negara.

Dalam konteks Bandara IMIP, kehadiran negara justru memperkuat posisi IMIP sebagai kawasan industri yang compliant, aman, dan berkontribusi besar pada pembangunan nasional.


Perspektif Aviasi: Bandara Khusus Tetap Wajib Dihubungkan dengan Sistem Negara

Sebagai orang yang lama bekerja di dunia aviasi, saya melihat persoalan ini sangat teknis, bukan politis. Bandara khusus memang berbeda dari bandara umum, tetapi ada satu prinsip yang tidak boleh dilanggar:
setiap bandara yang melayani mobilitas manusia tetap memerlukan integrasi dengan sistem negara.

Tidak ada bandara yang boleh sepenuhnya berada dalam lingkaran internal entitas swasta, meskipun bandara itu tidak bersifat komersial untuk umum. Alasannya:

  1. Safety and security: standar global mensyaratkan pengawasan aktif oleh otoritas.
  2. Movement control: pergerakan manusia dan barang harus terdata di sistem negara.
  3. National oversight: negara bertanggung jawab atas seluruh aktivitas penerbangan di wilayahnya.
  4. International compliance: untuk mencegah potensi pelanggaran lintas batas.

IMIP telah menjalankan banyak prosedur dengan baik, tetapi tanpa kehadiran penuh negara, selalu ada risiko governance yang tidak bisa ditutup oleh SOP internal.


Konsep “Kedaulatan Ekonomi”: Negara Tidak Boleh Hanya Mengatur di Atas Kertas

Dalam era hilirisasi, konsep kedaulatan tidak lagi hanya bicara soal pertahanan militer. Kedaulatan hari ini mencakup:

  • kedaulatan mineral
  • kedaulatan industri
  • kedaulatan teknologi
  • kedaulatan data dan logistik
  • kedaulatan rantai pasok

Bandara di kawasan industri strategis adalah simpul logistik yang menentukan semua itu. Jika negara tidak hadir, akan sulit memastikan bahwa seluruh aktivitas dalam kawasan industri berjalan dalam orbit kepentingan nasional.

Pernyataan Menhan sangat tepat karena menggarisbawahi hal ini:
Negara tidak boleh hanya hadir sebagai regulator—negara harus hadir sebagai pengawas dan penjaga gerbang.


Kehadiran Negara Bukan Pilihan—Ia Kebutuhan Strategis

Melihat seluruh konteks di atas, jelas bahwa kehadiran negara di Bandara IMIP bukanlah reaksi terhadap kontroversi semata. Ia merupakan kebutuhan strategis yang sejalan dengan:

  • arah pembangunan industri nasional
  • penguatan tata kelola
  • perlindungan SDA strategis
  • kewajiban negara dalam pengawasan penerbangan
  • dan upaya menjaga integritas rantai pasok global

Negara harus hadir bukan karena bandara itu bermasalah, tetapi karena bandara itu terlalu penting untuk tidak diawasi.


Penutup: Sinergi Negara–Industri adalah Masa Depan Hilirisasi

Morowali adalah salah satu simbol keberhasilan hilirisasi Indonesia. Dan keberhasilan itu tidak boleh dipertaruhkan oleh kurangnya pengawasan di titik-titik strategis seperti bandara. Bandara IMIP adalah fasilitas penting, dan legalitasnya telah terbukti. Namun, pengawasan negara bukan hanya soal legal atau ilegal; ia adalah soal bagaimana Indonesia memastikan bahwa seluruh aktivitas strategis berjalan sesuai visi nasional.

Kehadiran negara di Bandara IMIP akan:

  • memperkuat tata kelola
  • menjaga stabilitas rantai pasok
  • meningkatkan rasa aman bagi semua pihak
  • dan memastikan bahwa mineral strategis Indonesia tetap berada dalam kontrol negara

Sebagai praktisi aviasi, saya sangat memahami bahwa bandara bukan hanya bangunan fisik. Ia adalah pintu gerbang kedaulatan. Dan karena itu, saya mendukung pandangan bahwa negara harus hadir lebih kuat, lebih aktif, dan lebih terstruktur di Bandara IMIP.

Ini bukan sekadar isu teknis. Ini adalah wujud komitmen kita menjaga masa depan energi, teknologi, dan industri Indonesia.

Langit Indonesia Menggeliat: Potensi Emas Penerbangan Kargo dan Penumpang hingga 2030

Langit Indonesia Menggeliat: Potensi Emas Penerbangan Kargo dan Penumpang hingga 2030

Bayangkan Indonesia sebagai sebuah rumah besar. Untuk menghubungkan setiap ruangan—dari dapur di timur hingga kamar tidur di barat—Anda membutuhkan koridor dan jembatan. Di dunia nyata, jembatan paling cepat dan efisien itu adalah langit, tempat pesawat udara terbang menghubungkan jutaan orang dan barang setiap hari.

Hari ini, Indonesia berdiri di ambang era baru yang sangat menjanjikan untuk industri penerbangan. Pertumbuhan ekonomi, populasi yang masif, dan perubahan gaya hidup masyarakat menciptakan gelombang permintaan yang luar biasa besar. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa potensi penerbangan di Indonesia, baik untuk mengangkut penumpang maupun kargo, sangat besar hingga tahun 2030. Kita akan melihat angka-angka, memahami faktor-faktor pendorong, dan mengidentifikasi tantangan yang harus diatasi.

Bagian I: Gelombang Penumpang yang Tak Terbendung

Pertumbuhan jumlah penumpang pesawat di Indonesia bukanlah kebetulan. Ini adalah hasil dari kombinasi dua kekuatan besar: demografi dan ekonomi.

Kekuatan Penduduk Muda dan Kelas Menengah

Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia. Lebih dari 270 juta orang, dan sebagian besar dari mereka berusia muda dan produktif. Fenomena ini, yang sering disebut bonus demografi, adalah kunci utama.

  • Peningkatan Daya Beli: Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, semakin banyak orang yang masuk dalam kategori “kelas menengah.” Mereka memiliki penghasilan lebih untuk dibelanjakan, dan salah satu pengeluaran favorit mereka adalah perjalanan.
  • Gaya Hidup Modern: Bagi generasi muda, perjalanan udara bukan lagi barang mewah. Ini adalah cara praktis untuk berlibur, mengunjungi keluarga di kota lain, atau bepergian untuk urusan pekerjaan.

Angka-Angka Proyeksi yang Membuat Optimis

Para ahli dan lembaga internasional sudah lama mengamati tren ini. Angka-angka mereka menunjukkan betapa besarnya potensi pasar penerbangan kita.

  • Proyeksi IATA: Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memprediksi bahwa pada tahun 2030, Indonesia akan menjadi pasar penerbangan terbesar keempat di dunia, hanya kalah dari Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Ini adalah bukti nyata bahwa dunia melihat Indonesia sebagai rising star di industri aviasi.
  • Target Bandara Utama: Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sebagai gerbang utama Indonesia, sudah bersiap. PT Angkasa Pura II, sebagai pengelolanya, menargetkan bandara ini dapat melayani hingga 80 juta penumpang pada tahun 2030. Sebuah peningkatan besar yang menunjukkan bagaimana infrastruktur pun harus mengejar pertumbuhan yang cepat.
Sumber ProyeksiPerkiraan Jangka PanjangRelevansi
IATAMenjadi pasar ke-4 terbesar di dunia pada 2030Menunjukkan potensi global
Angkasa Pura II80 juta penumpang di Bandara Soekarno-Hatta pada 2030Target spesifik untuk hub utama
Kementerian PariwisataPertumbuhan wisatawan domestik dan internasionalMendorong rute-rute baru

Tabel 1: Proyeksi Pertumbuhan Penumpang Udara Indonesia

Mesin Ganda: Pariwisata dan Bisnis

Sektor pariwisata adalah pendorong utama lainnya. Pemerintah telah gencar mempromosikan “10 Bali Baru,” yang mendorong masyarakat dan wisatawan asing untuk menjelajahi keindahan Indonesia. Maskapai penerbangan, terutama yang berbiaya rendah (LCC), berperan besar dalam menghubungkan destinasi-destinasi ini.

Di sisi lain, perjalanan bisnis juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Para pebisnis memerlukan mobilitas yang cepat dan efisien untuk menjalin kerja sama dan menghadiri pertemuan. Pesawat udara adalah solusi terbaik untuk kebutuhan ini.

Bagian II: Angkasa Bersama Logistik – Revolusi Senyap di Balik Kargo

Jika penumpang adalah wajah industri penerbangan, maka kargo adalah jantung yang terus berdetak. Ia bergerak tanpa banyak sorotan, namun perannya sangat vital dalam ekonomi modern. Di Indonesia, potensi kargo udara sama besarnya dengan potensi penumpang, didorong oleh dua kekuatan utama: e-commerce dan rantai pasok global.

Fenomena E-commerce sebagai Pendorong Utama

Siapa yang tidak pernah belanja online? Indonesia adalah salah satu pasar e-commerce dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Dari pakaian, gawai, hingga makanan, jutaan paket dikirim setiap hari. Agar paket-paket ini sampai dengan cepat, aman, dan tepat waktu, kargo udara menjadi solusi yang tak tergantikan.

  • Kecepatan dan Jangkauan: Kargo udara memungkinkan pengiriman barang-barang berharga atau sensitif waktu, seperti produk elektronik dan obat-obatan, ke seluruh penjuru nusantara dalam hitungan jam, bukan hari.
  • Pertumbuhan Masif: Pertumbuhan e-commerce diprediksi akan terus melonjak. Ini adalah kabar baik bagi industri kargo udara, karena setiap transaksi online berpotensi menjadi satu pengiriman kargo.

Untuk memberi gambaran, lihatlah proyeksi pertumbuhan pasar e-commerce di Indonesia:

TahunPerkiraan Nilai Pasar (USD)
2023Sekitar $53 miliar
2025Diperkirakan mencapai $82 miliar
2030Diproyeksikan melampaui $100 miliar

Data ini menunjukkan bahwa seiring dengan pertumbuhan e-commerce yang luar biasa, permintaan akan jasa kargo udara juga akan ikut meroket.

Peran Vital dalam Rantai Pasok Modern

Selain e-commerce, kargo udara juga menjadi tulang punggung bagi berbagai industri. Ia adalah bagian penting dari rantai pasok yang efisien dan modern.

  • Industri Farmasi: Obat-obatan, vaksin, dan alat kesehatan seringkali memerlukan pengiriman yang sangat cepat dan kondisi suhu yang terkontrol (dikenal sebagai cold chain). Kargo udara adalah satu-satunya pilihan yang paling andal untuk kebutuhan ini.
  • Produk Segar: Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, dari hasil pertanian hingga perikanan. Agar produk-produk ini bisa diekspor ke luar negeri dalam keadaan segar, kargo udara menjadi kunci.
  • Manufaktur dan Komponen: Banyak industri manufaktur yang menggunakan sistem just-in-time (JIT) untuk menekan biaya. Mereka mengandalkan kargo udara untuk mengirimkan komponen-komponen penting dari satu pabrik ke pabrik lain secara cepat, mencegah terhentinya proses produksi.

Singkatnya, kargo udara adalah pelumas bagi mesin ekonomi Indonesia, memastikan barang bergerak lancar dari produsen ke konsumen, baik di dalam negeri maupun ke pasar global.

Bagian III: Pemain Kunci dan Strategi Menuju Puncak

Dalam gelanggang persaingan yang ketat, keberhasilan industri penerbangan tidak hanya bergantung pada pasar, tetapi juga pada strategi pemainnya. Di Indonesia, ada beberapa nama besar yang berperan penting, dengan Garuda Indonesia sebagai maskapai nasional yang menjadi sorotan.

Transformasi Garuda Indonesia

Garuda Indonesia telah melalui perjalanan yang tidak mudah, terutama setelah pandemi. Namun, dari krisis ini, lahirlah sebuah strategi baru yang lebih kuat. Garuda tidak hanya berusaha untuk bertahan, tetapi juga untuk tumbuh dengan cara yang lebih cerdas dan efisien.

  • Fokus pada Efisiensi: Garuda kini lebih fokus pada rute-rute yang menguntungkan dan manajemen biaya yang ketat. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan setiap penerbangan, baik penumpang maupun kargo, memberikan nilai maksimal.
  • Target Armada: Garuda memiliki target yang ambisius untuk mengoperasikan sekitar 120 pesawat hingga tahun 2030. Ini adalah rencana besar yang menunjukkan komitmen mereka untuk meningkatkan kapasitas dan memperluas jaringan.
  • Penguatan Kargo: Garuda kini tidak lagi hanya mengandalkan penumpang. Mereka berinvestasi besar pada bisnis kargo, termasuk layanan end-to-end yang membantu pengiriman barang dengan lebih cepat dan terpercaya, terutama untuk produk-produk e-commerce dan hasil bumi yang butuh penanganan khusus.

Dinamika Pasar yang Dihuni Berbagai Pemain

Selain Garuda, ada banyak pemain lain yang membuat pasar penerbangan Indonesia sangat dinamis. Maskapai-maskapai low-cost carrier (seperti Lion Air, Super Air Jet, Pelita dan Citilink) terus tumbuh pesat dengan model bisnis yang efisien, membuat tiket pesawat lebih terjangkau dan membuka akses ke banyak destinasi.

Sementara itu, maskapai internasional juga semakin tertarik dengan pasar Indonesia. Mereka membuka rute baru ke kota-kota besar di Indonesia, yang tidak hanya meningkatkan pariwisata, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat konektivitas global.

Kolaborasi antara maskapai domestik dan internasional, serta sinergi dengan pemerintah, akan menjadi kunci untuk memastikan pasar penerbangan Indonesia terus berkembang secara sehat dan berkelanjutan.

Bagian IV: Menghadapi Badai dan Memetik Pelangi

Potensi emas tidak datang tanpa tantangan. Untuk benar-benar mengukuhkan posisinya, industri penerbangan Indonesia harus mampu mengatasi rintangan-rintangan besar yang membayangi.

Tantangan Infrastruktur yang Krusial

Pertumbuhan jumlah penumpang dan kargo yang pesat membuat infrastruktur bandara di Indonesia, terutama di kota-kota besar, harus bekerja ekstra keras.

  • Keterbatasan Kapasitas: Bandara utama seperti Soekarno-Hatta sudah sangat sibuk. Antrean lepas landas, keterlambatan penerbangan, dan padatnya terminal adalah masalah yang sering terjadi. Jika tidak diatasi, hal ini bisa mengurangi kenyamanan dan efisiensi.
  • Solusi: Pemerintah dan pengelola bandara perlu terus melakukan ekspansi dan modernisasi. Pembangunan bandara baru, seperti yang direncanakan di sekitar Jakarta untuk mendukung sistem multi-airport, bisa menjadi solusi cerdas. Selain itu, pengembangan bandara di daerah-daerah lain juga sangat penting untuk pemerataan konektivitas.

Isu Lingkungan dan Biaya Bahan Bakar

Di era global ini, isu lingkungan menjadi perhatian serius. Industri penerbangan global ditekan untuk mengurangi emisi karbon.

  • Bahan Bakar Berkelanjutan: Salah satu solusi masa depan adalah penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF), atau Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan. Bahan bakar ini lebih ramah lingkungan, namun harganya masih mahal. Indonesia perlu berinvestasi dalam riset dan teknologi untuk mendukung penggunaan SAF.
  • Harga Avtur: Fluktuasi harga bahan bakar avtur juga menjadi tantangan besar. Harga bahan bakar yang tinggi dapat menekan keuntungan maskapai dan berujung pada kenaikan harga tiket.

Ketersediaan SDM dan Regulasi

Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang terampil, seperti pilot, teknisi, dan staf operasional, adalah kunci untuk menjaga standar keselamatan dan pelayanan. Di samping itu, regulasi yang jelas dan konsisten dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat dan adil.

Penutup: Menerjang Badai, Menuju Era Emas

Indonesia berdiri di persimpangan jalan menuju masa depan aviasi yang gemilang. Potensi besar dari jumlah penumpang yang terus meningkat dan kargo yang didorong oleh e-commerce adalah sebuah keniscayaan. Namun, potensi ini tidak bisa diraih tanpa kerja keras.

Kesuksesan industri penerbangan Indonesia bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan infrastruktur, isu lingkungan, dan dinamika ekonomi. Strategi adaptif dari pemain utama seperti Garuda Indonesia, dukungan dari pemerintah, dan inovasi teknologi akan menjadi kunci utama.

Dengan perencanaan yang matang dan kolaborasi yang kuat, Indonesia tidak hanya akan mengukuhkan posisinya sebagai pasar penerbangan terbesar di kawasan, tetapi juga sebagai kekuatan penerbangan global yang disegani. Langit Indonesia telah terbuka, dan kini saatnya untuk benar-benar lepas landas.

Merajut Sinergi Emas: Kolaborasi Strategis Garuda Indonesia dan SMA Taruna Nusantara

Merajut Sinergi Emas: Kolaborasi Strategis Garuda Indonesia dan SMA Taruna Nusantara

Menyemai Masa Depan dari Masa Lalu

Industri penerbangan tidak hanya dibangun dari teknologi dan infrastruktur modern, melainkan terutama ditopang oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang menjadi penggeraknya. Dalam konteks Indonesia, Garuda Indonesia Group sebagai maskapai nasional telah menorehkan satu kisah kolaborasi yang menonjol dalam sejarah pengembangan SDM: kemitraan jangka panjang bersama SMA Taruna Nusantara (SMATN). Hubungan yang terjalin sejak awal 1990-an ini menjadi cermin dari bagaimana visi pendidikan dan dunia profesional dapat bersatu dalam menciptakan talenta unggul bagi bangsa.

Kolaborasi monumental ini dimulai pada tahun 1991 melalui penandatanganan nota kesepahaman antara Garuda Indonesia dan SMA Taruna Nusantara yang saat itu dilakukan oleh Direktur Utama Garuda Indonesia, Bapak M. Soeparno. Kemitraan tersebut bukan hanya langkah formal, melainkan wujud nyata strategi investasi jangka panjang untuk membentuk kader-kader masa depan Indonesia. SMATN dipilih bukan tanpa alasan—sebagai lembaga pendidikan dengan sistem semi-militer dan basis nilai kebangsaan yang kuat, sekolah ini dianggap sebagai kawah candradimuka pembentukan karakter, disiplin, dan kepemimpinan.

Sebagai bentuk komitmen awal, pada tanggal 16 Januari 1992, Garuda Indonesia memberikan sumbangan monumental berupa kolam renang berstandar olimpiade di lingkungan SMATN. Fasilitas ini tak hanya mendukung pengembangan fisik siswa, tetapi juga simbol kuat dari peran sektor industri dalam mendukung kualitas pendidikan nasional.

Langkah Progresif dan Program Beasiswa

Tindak lanjut dari kemitraan tersebut terlihat nyata pada tahun 1993, ketika Garuda Indonesia secara progresif memberikan beasiswa penuh kepada sejumlah lulusan SMATN untuk melanjutkan pendidikan di universitas penerbangan internasional ternama di Selandia Baru. Sejumlah lainnya melanjutkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia dengan beasiswa penuh untuk bidang-bidang yang selaras dengan kebutuhan perusahaan.

Keputusan ini menggambarkan pandangan jauh ke depan Garuda dalam membangun SDM berbasis kualitas dan karakter, bukan semata-mata latar belakang akademik. Dengan melibatkan generasi muda dari lembaga pendidikan berkarakter kuat, Garuda memastikan adanya kesinambungan nilai dalam tubuh organisasi.

Namun, tak lama berselang, badai krisis moneter Asia 1997–1998 mengguncang dunia usaha, termasuk Garuda Indonesia. Terpaksa, program beasiswa dihentikan. Meski demikian, para alumni tetap melanjutkan perjalanan masing-masing dengan nilai-nilai yang telah tertanam kuat, membuktikan bahwa investasi pendidikan bukan sekadar soal pendanaan, melainkan pembentukan fondasi karakter.

Diaspora Global: Antara Tantangan dan Potensi

Seiring waktu, perkembangan industri global memunculkan fenomena baru. Pada dekade 2000-an, Indonesia mengalami eksodus tenaga pilot ke luar negeri, termasuk mereka yang sebelumnya merupakan bagian dari program awal kolaborasi Garuda–SMATN. Sejumlah lulusan memilih berkarir di maskapai asing terkemuka di Timur Tengah dan Asia Selatan, sebagai respons atas dinamika pasar tenaga kerja internasional dan peluang profesional yang terbuka lebar.

Fenomena ini, yang semula dapat dianggap sebagai bentuk kehilangan, justru menjadi bukti daya saing global dari talenta yang dihasilkan melalui kerja sama pendidikan dan industri ini. Para diaspora tersebut berhasil menembus persaingan internasional, menunjukkan kompetensi yang lahir dari sistem pendidikan yang kuat dan pembinaan karakter sejak dini.

Namun perlu dicatat, dari sekian banyak alumni yang memilih jalur karir di luar negeri, ada juga sosok yang tercatat kembali ke Garuda Indonesia setelah berkiprah di berbagai maskapai dan organisasi profesi maupun non-profesi. Kehadirannya kembali di lingkungan Garuda membawa pengayaan perspektif global dan semangat kontribusi yang langka. Hal ini menjadi simbol bagaimana pengalaman diaspora tidak selalu berarti keterputusan, tetapi bisa menjadi sumber kekuatan baru saat dikembalikan untuk mengabdi pada bangsa dan bukan hanya sekadar kembali, melainkan membawa transformasi.

Kontribusi Strategis dalam Transformasi Garuda

Saat ini, lulusan SMATN yang bergabung dengan Garuda Indonesia tak hanya hadir sebagai tenaga operasional, tetapi telah menjelma sebagai bagian dari infrastruktur strategis perusahaan. Mereka mengisi berbagai posisi kunci mulai dari direktur utama, manajemen komunikasi, pengembangan bisnis, instruktur pilot, hingga operasional penerbangan. Keberadaan mereka bukan semata representasi alumni, tetapi bagian dari jaringan profesional yang memiliki disiplin, etos kerja, dan loyalitas tinggi.

Pendidikan yang mereka tempuh, ditambah pengalaman di lingkungan kerja yang dinamis, menjadikan mereka tulang punggung transformasi Garuda Indonesia, khususnya dalam menghadapi era pasca-pandemi dan tantangan restrukturisasi utang. Di tengah tekanan untuk efisiensi, optimalisasi rute, dan digitalisasi layanan, mereka menjadi elemen penggerak yang memahami nilai-nilai dasar perusahaan sekaligus membawa semangat pembaruan.

Peran mereka juga terasa dalam proses regenerasi. Sebagai pelatih dan mentor, mereka mentransfer nilai-nilai profesionalisme kepada generasi baru. Keberadaan mereka memastikan bahwa standar keselamatan, efisiensi operasional, dan pelayanan pelanggan tetap menjadi prioritas utama perusahaan.

Karakter Alumni: Pilar SDM Unggul

Kesuksesan alumni SMATN dalam lingkungan Garuda Indonesia bukanlah kebetulan. Ia merupakan buah dari proses pendidikan yang menekankan nilai-nilai berikut:

  1. Integritas dan Nasionalisme
    Pendidikan bela negara dan kebangsaan menjadi unsur pokok dalam sistem SMATN. Dalam dunia aviasi yang menuntut kejujuran dan tanggung jawab, integritas menjadi fondasi profesionalisme.
  2. Disiplin dan Ketangguhan Mental
    Rutinitas dan pengawasan ketat membentuk karakter yang konsisten, tahan tekanan, dan adaptif terhadap perubahan.
  3. Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan
    Latihan kepemimpinan sejak dini menciptakan individu yang mampu memimpin di berbagai tingkatan dan menghadapi tantangan dengan solusi, bukan kepanikan.
  4. Kemampuan Kolaborasi dan Jaringan Sosial
    Ikatan alumni yang luas, baik di pemerintahan, militer, maupun swasta, menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun kerja sama lintas sektor.

Dalam konteks Garuda Indonesia, keberadaan SDM dengan kualitas tersebut adalah modal strategis untuk menciptakan organisasi yang tahan terhadap disrupsi dan gesit dalam berinovasi.

Melanjutkan Jejak: Masa Depan Kolaborasi

Kolaborasi antara Garuda Indonesia dan SMA Taruna Nusantara belum mencapai titik puncaknya. Justru, tantangan masa kini dan masa depan membuka peluang baru untuk memperluas kemitraan ini dalam bentuk yang lebih kontekstual. Transformasi industri aviasi ke arah digitalisasi, keberlanjutan, dan otomatisasi membuka ruang bagi program pendidikan baru, pelatihan multidisiplin, dan model beasiswa berbasis kompetensi masa depan.

Garuda Indonesia dapat mempertimbangkan pembaruan skema beasiswa dan pelatihan, dengan menekankan pada bidang-bidang seperti teknologi penerbangan, manajemen risiko, keamanan data, keberlanjutan lingkungan, serta pengembangan SDM berbasis digital. SMA Taruna Nusantara, dengan latar pendidikan yang kuat secara karakter dan akademis, dapat kembali menjadi mitra utama dalam menyediakan talenta unggul.

Keterlibatan alumni diaspora yang belum kembali juga bisa difasilitasi melalui program re-integrasi profesional, yang memungkinkan transfer ilmu dan pengalaman global ke dalam lingkungan lokal. Pengalaman internasional mereka dapat diolah sebagai modal sosial dan intelektual untuk mendukung kemajuan Garuda.

Penutup: Pilar Masa Depan Aviasi Indonesia

Kisah kemitraan antara Garuda Indonesia dan SMA Taruna Nusantara adalah contoh nyata bagaimana dunia industri dan pendidikan bisa saling menguatkan. Ia bukan sekadar catatan sejarah, tetapi narasi hidup tentang bagaimana bangsa ini membangun kekuatannya melalui sinergi nilai dan strategi.

Dari kolam renang olimpiade yang dibangun pada 1992 hingga ruang kokpit pesawat dan ruang kendali strategis saat ini, perjalanan ini menunjukkan kesinambungan visi dan komitmen. Ia adalah bentuk investasi yang bukan hanya menghasilkan keuntungan bisnis, tetapi juga membangun ketahanan nasional.

Garuda Indonesia hari ini dan masa depan akan terus terbang dengan dukungan SDM yang tak hanya cerdas, tetapi berkarakter. Dari kawah candradimuka di Magelang lahir pribadi-pribadi tangguh, profesional, dan berjiwa pengabdian—mereka yang tidak hanya membawa Garuda mengudara, tetapi juga mengangkat harapan Indonesia ke langit dunia.

Peristiwa Penerbangan Haji GA-1105 Embarkasi Makassar

IstimewaPeristiwa Penerbangan Haji GA-1105 Embarkasi Makassar

GA-1105 yang dioperasikan dengan armada B747-400 diberangkatkan dari Bandara Sultan Hasanuddin pada pukul 15:30 LT tanggal 16 Mei 2024 dan dijadwalkan tiba di Bandara Internasional Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah pada pukul 21.10 LT. Sangat disayangkan penerbangan dimaksud tidak berjalan mulus seperti yang direncanakan dikarenakan terjadi kondisi Engine Fire after Take-Off sehingga pesawat melakukan prosedur Return To Base (RTB) sebagai langkah yang paling selamat dalam penerbangan. Apresiasi tinggi kepada seluruh awak pesawat yang bertugas dalam melaksanakan misi yang mulia ini.

Pesawat GA-1105 dengan registrasi ER-BOS yang diterbangkan oleh Garuda Indonesia merupakan pesawat yang dimiliki operator penerbangan Terra Avia dari negara Moldova yang memang disewa dengan peruntukan khusus untuk melayani penerbangan haji tahun 2024. Mekanisme sewa menyewa pesawat dilakukan melalui metoda Damp Lease dimana Garuda Indonesia menyewa pesawat dan Pilot sekaligus dan hanya Awak Kabin yang dipersiapkan oleh Garuda Indonesia. Selama bertahun-tahun memang penyewaan pesawat untuk penerbangan haji selalu dilakukan dan ini memang wajar mengingat jumlah armada pesawat Garuda Indonesia yang dapat melayani penerbangan haji tidak mencukupi.

Permasalahan teknis yang dialami pada penerbangan GA-1105 merupakan satu kejadian yang memang sudah dilatihkan kepada para awak pesawat secara berkala melalui Proficiency Check bagi Pilot dan Competency Check bagi Awak Kabin. Dengan kejadian ini tentunya pesawat tersebut harus dilakukan Grounded untuk keperluan investigasi lebih lanjut dan setelahnya diharapkan dapat ditemukan penyebab kenapa kejadian tersebut dapat terjadi.Tentunya dalam satu kejadian akan banyak faktor penyebab yang dapat menjadi pemicunya.

Kondisi pasar penerbangan Indonesia pada saat ini memang masih tidak baik baik saja. Kebutuhan pelayanan penerbangan masyarakat pada peak season tahun 2024 nyatanya dapat terpenuhi dengan seluruh jumlah pesawat yang beroperasi pada saat ini. Dengan terpenuhinya kebutuhan domestik saat ini menjadikan landasan bagi para operator penerbangan dalam melakukan strategi pengembangan bisnisnya masing-masing. Tentunya tidak ada operator penerbangan yang mau melakukan langkah konyol dalam melakukan proyeksi dan pengembangan bisnis secara semberono.

Termasuk juga bagi Garuda Indonesia yang setelah terhantam keras oleh kejadian pandemi harus melakukan restrukturisasi armadanya, dan proyeksi penambahan armada pun harus dilakukan secara strategis dan taktis. Manajemen Garuda Indonesia tampaknya sudah melakukan langkah yang tepat dengan melakukan pengembangan dan penambahan armada secara bertahap dalam menjawab kebutuhan pasar penerbangan Indonesia.

Penambahan armada bukanlah hal yang mudah, biaya operasional pesawat tidaklah murah, selain memastikan kondisi kelaikudaraan pesawat juga harus memastikan kecukupan jumlah awak pesawat yang mengoperasikannya. Jika perhitungannya tidak tepat dan berlebihan dapat menyebabkan pemborosan dan jika berkekurangan dapat mempengaruhi aspek keselamatan nantinya.

Saat ini Garuda Indonesia memiliki jumlah armada sebanyak kurang lebih 73 pesawat dan jumlah Pilot sebanyak 1000 orang. Secara kasar rasio utilisasi pesawat dan Pilot menjadi rata-rata 1 : 13, yang maksudnya adalah 1 pesawat akan diterbangkan oleh 13 Pilot. Kondisi ini tentunya agak sedikit berlebihan antara jumlah Pilot dibanding pesawat yang dioperasikan sehingga sudah cukup bijak untuk sementara waktu beberapa Pilot diberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan darat sambil menunggu membaiknya kondisi penerbangan sesuai dengan proyeksi pengembangan bisnis Perusahaan.

Tentunya di saat kondisi pasar penerbangan Indonesia semakin membaik maka akan semakin banyak pesawat yang beroperasi di langit Nusantara ini. Semakin membaik lagi penerbangan kita maka akan semakin banyak pesawat berbendera Merah Putih di langit Indonesia.

Salam Penerbangan.

75 Tahun Indonesia Merdeka : Momentum Pemulihan Penerbangan Nasional

75 Tahun Indonesia Merdeka : Momentum Pemulihan Penerbangan Nasional

Memasuki 75 tahun kemerdekaan Indonesia bangsa ini menghadapi tantangan terberat pada masanya. Tahun 2020 ini diwarnai dengan terjadinya pandemi Covid-19 dan pelemahan ekonomi baik secara nasional maupun global. Secara global kedua permasalahan tersebut telah menerpa hampir seluruh negara di segala penjuru dunia. Secara nasional dalam tahun berjalan pada kwartal 2 tahun 2020 (Q2) sudah terjadi pelemahan secara ekonomi dengan indikator pertumbuhan -5,32% dan penanganan pandemic Covid-19 masih terus diintensifkan oleh pemerintah walaupun memang  penambahan rata-rata  kasus penularan yang masih konsisten diatas 1000 kasus perharinya.

Pada saat pandemi Covid-19 ini bisnis penerbangan dan pariwisata menjadi sektor bisnis yang paling tertekan dimana pandemi telah menyebabkan dan mengharuskan pemerintah mengambil langkah – langkah antisipatif dalam pencegahan penyebaran virus Corona. Walaupun langkah yang cukup moderat dibandingkan dengan lockdown yang jauh lebih beresiko sudah dilakukan dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tetap saja pembatasan ini menyebabkan volume pergerakan manusia dengan moda transportasi udara menjadi turun secara signifikan.

Penurunan jumlah penumpang terparah terjadi pada bulan April – Mei 2020 hingga mencapai sekitar -80% dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan menyebabkan hampir 70% armada pesawat komersial harus grounded karena sepinya penumpang. Walaupun secara perlahan terjadi peningkatan pada bulan berikutnya, akan tetapi masih jauh dari target yang diperlukan bagi operator penerbangan untuk tetap dapat mempertahankan kondisi operasionalnya secara normal. Permasalahan kesehatan dan ekonomi yang terjadi saat ini memang memukul dengan sangat keras pada bisnis di sektor penerbangan.

PERGERAKAN PENUMPANG PESAWAT UDARA DOMESTIK JANUARI – APRIL 2020
Sumber : BPS – Indikator Ekonomi April 2020

Penurunan ini sangat bertolak belakang dengan optimisme di masa lampau akan prospek cerah pada bisnis penerbangan. Dengan melihat tren penurunan dan perkiraan banyak ahli bahwa penerbangan nasional baru akan pulih kembali seperti pada tahun 2019 yaitu pada tahun 2022, banyak operator penerbangan pada saat ini harus melakukan berbagai langkah penyelamatan, mengingat tingkat ketidakpastian yang semakin tinggi pada industri ini. Berbagai langkah seperti efisiensi operasional, diversifikasi bisnis, pengurangan tenaga kerja, renegosiasi pesawat bahkan sampai kepada penangguhan pembayaran gaji pegawai dinilai perlu untuk dilakukan sebagai langkah penyelamatan perusahaan.

PERGERAKAN PENUMPANG PESAWAT UDARA DOMESTIK TAHUN 2016 – 2019
Sumber : BPS – Indikator Ekonomi April 2020

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ICAO tentang dampak Covid-19 pada ekonomi penerbangan secara global memang masih memerlukan waktu yang cukup panjang untuk pulihnya bisnis penerbangan. Tingkat ketidakpastian akan Covid-19 menyebabkan beberapa skenario dari tingkatan optimis sampai kepada kemungkinan terburuk mesti dipersiapkan. Tren dari studi yang dilakukan ICAO ini dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga dalam bagaimana mempersiapkan strategi bertahan dari terpaan badai Covid-19 saat ini. Langkah bisnis yang konservatif dan fleksibel kiranya perlu untuk ditempuh pada saat seperti ini.

Sumber : ICAO Economic Impact Analysis 12 August 2020

Dalam beberapa dekade ini memang negara kita telah menikmati perkembangan pesat bisnis penerbangan. Dengan terjadinya kondisi pada tahun 2020 ini dan dengan pencanangan “New Normal” dimana norma baru dalam kehidupan bermasyarakat mulai diimplementasikan akan dapat menjadi momentum baru untuk perkembangan lanjutan dunia penerbangan dengan strategi dan paradigma baru yang berbeda dengan sebelumnya.

New Normal” tidak hanya terjadi pada kehidupan bermasyarakat saja, tentunya akan berdampak juga kepada perilaku masyarakat dalam bertransportasi dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dampak dari pandemi telah merubah pandangan masyarakat untuk bepergian. Peningkatan komunikasi melalui media online untuk melakukan pertemuan ataupun seminar, membaiknya fasilitas moda transportasi darat dan kereta api, meningkatnya teknologi berbasis Artificial Intelligence, perkembangan teknologi drone dan keengganan masyarakat berlibur ke area wisata akan sedikit banyak berpengaruh kepada bisnis penerbangan. Beberapa hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi operator penerbangan untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan transportasi udara.

Pemerintah saat ini sedang melakukan evaluasi terhadap jumlah bandara internasional di Indonesia. Langkah ini merupakan suatu langkah yang tepat dimana memang pangsa pasar domestik di negara kita jauh lebih besar dibanding pangsa pasar internasional. Sekitar 80% pasar kita adalah pasar domestik dan sudah tepat kiranya jika saat ini penguatan pasar domestik menjadi prioritas dalam pemulihan penerbangan nasional. Selain itu dengan banyaknya bandara internasional secara tidak langsung akan mempersempit ruang bagi penerbangan domestik mengingat adanya prinsip  “Freedoms of the Air” dari ICAO. Konsep Hub and Spoke perlu juga untuk dikaji ulang dimana bandara Hub ini hanya diperlukan untuk layanan internasional saja sementara untuk domestik nantinya akan sangat memerlukan penerbangan Point to Point.

Bagian terpenting yang harus menjadi perhatian seluruh stakeholder penerbangan adalah mengembalikan public confidence akan transportasi udara. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan ketakutan atau trauma untuk kembali terbang dan menjadi tugas bersama seluruh stakeholder penerbangan untuk meyakinkan masyarakat jika terbang dengan pesawat terbang itu aman, sehat dan selamat. Konsistensi dan kepatuhan dari operator penerbangan terhadap kebijakan dan regulasi dari pemerintah dalam masa pandemi ini tentu menjadi tuntutan utama dalam mengembalikan public confidence untuk kembali terbang. Jangan hanya karena sekedar mengejar keuntungan semata lalu melanggar kebijakan atau regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah.

Sisi lain yang perlu mendapat perhatian pada saat pandemi ini adalah permasalahan logistik dan kargo. Kebutuhan akan logistik semakin meningkat trennya di tengah pandemi dan akan terus berlanjut. Peningkatan kebutuhan logistik memerlukan pengembangan yang cepat juga untuk penerbangan perintis mengingat bahwa negara kita adalah negara kepulauan. Negeri ini memerlukan dukungan logistik mulai dari pelosok sampai bagian terluar negeri ini. Berbagai terobosan dinilai perlu untuk mengantisipasi perkembangan penerbangan perintis baik dengan perluasan pengoperasian seaplane ataupun amphibian aircraft. Dengan konsep Integrated Seaport untuk pengoperasian pesawat perintis dimana pesawat dapat beroperasi pada berbagai pelabuhan laut yang ada akan sangat membantu dalam mempercepat jalur logistik yang diperlukan.

Pandemi Covid-19 telah memberi banyak pelajaran berharga kepada seluruh stakeholder penerbangan nasional. Pada akhirnya seluruh insan penerbangan harus saling bahu-membahu dan bersinergi dalam menjaga ketahanan dan menyelamatkan industri penerbangan. Kita semua telah menyaksikan bagaimana rentannya ketahanan sektor penerbangan nasional kita pada saat ini. Dampak dari kondisi pandemi Covid-19 ini sangat baik untuk diambil hikmah dan pelajaran yang berharga bagi seluruh insan penerbangan nasional dalam menyeragamkan langkah kita semua menuju Indonesia Maju.

Jayalah Penerbangan Indonesia Menuju Indonesia Maju

Capt. Heri Martanto, BAv.

Perjalanan Organisasi Profesi Pilot Indonesia

Organisasi profesi pilot yang dimulai pertama kali pada tahun 1955 melalui IPSINDO (Ikatan Penerbang Sipil Indonesia). Organisasi ini bertahan sampai tahun 1956 dan dibubarkan secara unilateral untuk menjaga kestabilan ekonomi dan politik nasional. Sejak IPSINDO dibubarkan maka terjadi kekosongan organisasi profesi yang mempersatukan dan menampung aspirasi pilot di Indonesia.

Organisasi profesi pilot berikutnya dibentuk pada tahun 1985 dengan terbentuknya FKAP-GA (Forum Komunikasi Antar Penerbang Garuda Indonesia) dalam skala perusahaan. Kemudian pada era Bapak Roesmin Noerjadin menjabat sebagai Menteri Perhubungan muncul usulan untuk dibentuknya sebuah organisasi profesi pilot dalam skala nasional.

Hasil tindak lanjut dari usulan tersebut maka kemudian terbentuklah PERSEPSI (Persatuan Seluruh Pilot Sipil Indonesia) pada tahun 1988. Kegiatan yang dilakukan PERSEPSI hingga tahun 1997 dinilai kurang aktif pada masa itu sehingga pada bulan Desember 1997 PERSEPSI bertransformasi menjadi FPI (Federasi Pilot Indonesia).

Awal perjalanan FPI mendapat dukungan positif dari pemerintah dengan penerbitan KM 12 Tahun 1998 tentang Federasi Pilot Indonesia. Salah satu tugas dari FPI adalah memberikan keleluasaan pada terbentuknya organisasi profesi pilot pada tiap – tiap perusahaan penerbangan.

Pada era tahun 1990 – 2000 akhirnya mulai muncul dinamika pembentukan asosiasi profesi pada beberapa perusahaan penerbangan. Hal ini ditandai dengan beberapa pembentukan organisasi seperti : FKAP-GA bertransformasi menjadi APG (Asosiasi Pilot Garuda), APM (Asosiasi Pilot Merpati), IPPAS (Ikatan Pilot Pelita Air Service) dan APHI (Asosiasi Pilot Helikopter Indonesia).

Dalam perjalanannya kemudian peranan FPI dirasakan kurang menyentuh kepada aspirasi seluruh pilot Indonesia. Dengan perkembangan ekonomi dan penerbangan domestik berimbas pada meningkatnya jumlah penerbangan dan jumlah pilot itu sendiri. Potensi mayoritas pilot Indonesia tidak bisa tertampung aspirasinya karena bukan merupakan anggota FPI dikarenakan FPI beranggotakan asosiasi dan bukan pilot secara individu.

Dengan memperhatikan kondisi penerbangan nasional yang semakin memprihatinkan maka pada tahun 2015 kemudian terbentuk sebuah forum diskusi antara pilot Indonesia yang bernama SPI (Solidaritas Pilot Indonesia). SPI berusaha melakukan pendekatan kepada FPI untuk bisa mereformasi diri agar mampu menampung aspirasi seluruh pilot Indonesia. Dengan tidak adanya tanggapan positif dari FPI, akhirnya pada November 2015 tim formatur SPI mengadakan kongres yang melahirkan IPI (Ikatan Pilot Indonesia).

Setelah terpilihnya Ketua Formatur IPI, maka kegiatan IPI telah dimulai sebagai tanda era baru organisasi profesi pilot Indonesia. IPI telah terdaftar sebagai organisasi perkumpulan melalui pengesahan dari Kemenkumham RI pada tanggal 17 Desember 2015. Kemudian IPI telah berhasil mengadakan Kongres ke-I pada 11 Januari 2016 dengan beranggotakan sebagian Pilot Indonesia yang mendaftarkan dirinya sendiri sebagai anggota IPI secara mandiri.

Mengikuti perjalanan waktu dan munculnya perbedaan visi di dalam profesi pilot maka pada tanggal 11 Januari 2019 lahir organisasi profesi Pilot yang bernama Perhimpunan Profesi Pilot Indonesia (PPPI) melalui Kongres pertamanya. PPPI telah mendapatkan pengesahan dari Kemenkumhan RI pada Februari 2019. PPPI lebih berfokus kepada kemandirian profesi, pengembangan intelektualitas profesi Pilot dan pengembangan sektor aviasi bersama stake holder aviasi Indonesia. Dalam waktu singkat PPPI telah berhasil merangkul berbagai pihak dan melaksanakan berbagai kerja sama dan kegiatan aksi bagi kemajuan penerbangan nasional.

Salam Penerbangan.

74 Tahun Kemerdekaan dan Normalisasi Tarif Tiket Pesawat

74 Tahun Kemerdekaan dan Normalisasi Tarif Tiket Pesawat

Perjalanan bangsa Indonesia sepanjang 74 tahun kemerdekaan telah dilalui dengan beragam permasalahan dan suka duka. Setelah melalui hajatan besar yang melelahkan bagi bangsa ini dalam memilih pemimpin bangsa, sudah saatnya bangsa ini kembali membenahi banyak hal yang perlu diperbaiki kedepannya.

74 tahun kemerdekaan ini kita sedang berada dalam era industry 4.0 dan society 5.0 dan tentu saja pada era seperti saat ini akan memunculkan banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Pemerintah tentu saja memiliki tugas yang sangat berat dalam menjamin dan menjaga keseimbangan demi keberlangsungan industri penerbangan dan ketersediaan layanan penerbangan bagi masyarakat luas.

Permasalahan dalam penerbangan yang menjadi sorotan masyarakat hingga saat ini adalah permasalahan mahalnya harga tiket pesawat bagi mayoritas masyarakat pengguna jasa penerbangan. Kenaikan harga tiket menyebabkan efek domino pada sektor khususnya pariwisata, perhotelan dan logistik. Dampak kenaikan harga tiket menyumbang inflasi di bulan Maret 2019 sebesar 0,03% dan hingga kini masih menjadi perhatian pemerintah. (https://www.liputan6.com/bisnis/read/3949062/bi-antisipasi-dampak-tingginya-harga-tiket-pesawat-ke-inflasi?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F)

tiket naik

Penentuan harga tiket tentunya dengan mempertimbangkan banyak variable. Faktor yang menentukan secara global adalah variable harga avtur. Harga avtur dapat mencapai 45% dari variable harga tiket pesawat. Hingga saat ini sebenarnya pemerintah melalui Pertamina sudah mampu menurunkan harga avtur agar dapat lebih kompetitif dibandingkan dengan harga avtur global, walaupun masih berlaku hanya di bandara – bandara besar saja. (https://finance.detik.com/energi/d-4430964/pertamina-sebut-harga-avtur-turun-begini-data-sebenarnya)

Langkah positif lainnya dari pemerintah dalam mengendalikan harga tiket pesawat yang terjangkau oleh masyarakat adalah dalam hal perpajakan. Hampir semua maskapai komersial di Indonesia menyewa pesawat yang dioperasionalkan dari luar negeri. Pemerintah telah menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk maskapai yang menyewa jasa pesawat luar negeri. Langkah ini dilakukan agar maskapai dapat lebih kompetitif dan mengurangi beban keuangan maskapai. (https://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/pthsua368/pemerintah-bebaskan-ppn-maskapai-ini-kriterianya/)

Setelah itu pemerintah juga telah mengambil inisiatif dalam mewajibkan maskapai Low Cost Carrier (LCC) atau penerbangan berbiaya rendah menjual tiket pesawat 50 persen lebih murah di bawah Tarif Batas Atas (TBA). Tarif diskon itu diberikan untuk 30 persen dari total kursi yang tersedia di setiap penerbangan. Pemberlakukan harga tiket murah yang terbatas pada hari dan jam tertentu. (https://bisnis.tempo.co/read/1223456/tiket-pesawat-lcc-diskon-50-persen-simak-harganya/full&view=ok)

Bisnis penerbangan nasional saat ini didominasi oleh 2 grup saja yaitu Garuda Indonesia Grup dan Lion Grup. Air Asia Grup menjadi pemain minoritas dengan pangsa pasar kurang dari 5%. Dengan komposisi 2 mayoritas ini tentu akan dikawatirkan terbentuk duopoli dalam menentukan harga tiket. Indikasi terjadinya kartel akan sangat dimungkinkan mengingat pada tahun 2018 hampir semua maskapai mengalami kerugian. Indikasi terjadinya kartel sedang diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Jika praktek kartel terjadi, maka yang menjadi korbannya sudah pasti adalah masyarakat pengguna jasa penerbangan dengan tingginya harga tiket yang dibayarkan. (https://www.tribunnews.com/bisnis/2019/07/15/kppu-sebut-penyelidikan-kasus-kartel-tiket-telah-cukup-bukti)

marketshare

(Source : centreforaviation.com)

Beberapa langkah yang telah diambil oleh pemerintah sangat layak untuk diapresiasi. Selain untuk menjamin ketersediaan layanan transportasi udara yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat, tentu juga menjadi kewajiban pemerintah dalam menjaga keberlangsungan usaha industri penerbangan. Pada kenyataannya dengan berbagai langkah positif dari pemerintah, harga tiket pesawat hingga saat ini masih dinilai mahal oleh masyarakat.

Dengan masih tingginya harga tiket ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengambil langkah terintegrasi dalam mengkondisikan agar harga tiket pesawat dapat kembali terjangkau dan layak yang sesuai dengan tingkat daya beli masyarakat. Perlu kiranya dipertimbangkan untuk perluasan beberapa insentif kepada maskapai menyangkut pelayanan navigasi, kebandaraan, perpajakan dan evaluasi perihal pemberlakuan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). Pembentukan iklim bisnis dan investasi yang sehat juga akan dapat menjadi katalisator dalam menghindari indikasi terjadinya duopoli maupun kartel dalam bisnis penerbangan nasional.

Di sisi lain bagi maskapai tentunya juga perlu melakukan langkah restrukturisasi, menetapkan strategi bisnis yang tepat, membangun SDM dan efisiensi biaya dalam menyehatkan kondisi keuangan yang merugi pada tahun sebelumnya.

Kolaborasi yang tepat antara pemerintah dan pelaku bisnis penerbangan diharapkan akan dapat memajukan industri penerbangan sekaligus menjamin pelayanan penerbangan yang terbaik bagi masyarakat.

Salam Penerbangan

Capt. Heri Martanto

Tahun Politik 2019 dan Dinamika Profesi Pilot

Tahun Politik 2019 dan Dinamika Profesi Pilot

photo_2019-01-15_14-29-39

 

Pada bulan April 2019 bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang diselenggarakan secara demokratis. Banyak sekali kegiatan – kegiatan politik yang berkembang mendekati pesta demokrasi ini dikarenakan pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif diadakan secara serentak. Dipastikan kegiatan pesta demokrasi ini akan ramai dan meriah karena memang inilah saatnya rakyat Indonesia berpesta dalam memberikan hak politiknya secara demokratis sesuai perundangan dan peraturan yang berlaku.

Pilot sebagai elemen anak bangsa yang juga memiliki hak politik yang dilindungi oleh Undang – Undang, dan pada tahun 2019 inipun mengalami dinamika yang belum pernah terjadi pada tahun –  tahun sebelumnya. Kita bisa menyaksikan melalui informasi yang disampaikan beberapa media akan hal ini. Dinamika ini menjadi sangat indah terasa karena menunjukkan persatuan dalam keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Pada tanggal 2 Januari 2019 Ikatan Pilot Indonesia (IPI) melakukan konferensi pers menyangkut pemberitaan dan viralnya deklarasi dukungan Pilot Indonesia kepada salah satu pasangan calon Presiden. Dalam kesempatan ini Ketua Umum IPI menyampaikan jika IPI merupakan organisasi profesi dan netral dalam menghadapi Pemilihan Presiden tahun 2019. Pernyataan ini sekaligus juga memberikan sinyal jika IPI tidak terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh para Pilot Indonesia dalam menyalurkan aspirasi politiknya yang kemudian menjadi viral tersebut dan merupakan suatu counter dari dukungan tersebut. (https://news.detik.com/berita/4368079/ikatan-pilot-indonesia-tanggapi-video-viral-dukungan-pilot-ke-prabowo). Selain konferensi pers tersebut, pernyataan senada juga disampaikan oleh asosiasi anggota dari IPI, dikarenakan tersebar berita jika Pilot dari maskapai tertentu ikut dalam pendeklarasian tersebut. (https://bisnis.tempo.co/read/1160901/klarifikasi-asosiasi-soal-video-pilot-garuda-dukung-prabowo/full&view=ok)

Dinamika yang menarik terjadi beberapa hari kemudian dengan adanya deklarasi dukungan kepada calon Presiden tertentu pada tanggal 13 Januari 2019 yang dilakukan oleh ratusan Pilot dan Pramugari di Jakarta. Dalam kegiatan yang dihadiri oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tersebut, para relawan calon Presiden yang tergabung dalam forum “Air Crew For 01” mendeklarasikan dukungan secara langsung di hadapan kedua Menteri Negara tersebut. Selain itu, dalam kesempatan tersebut juga dilakukan public announcement mengenai Perhimpunan Profesi Pilot Indonesia (PPPI) sebagai organisasi profesi Pilot yang profesional dan menjadi milik seluruh Pilot Indonesia yang mampu bermitra dengan seluruh stake holder penerbangan nasional. (https://www.liputan6.com/pilpres/read/3869774/ratusan-pilot-dan-pramugari-deklarasi-dukung-jokowi-maruf)

Kegiatan para Pilot pada tahun politik ini memang sangat berbeda dibandingkan dengan tahun politik sebelumnya. Pada tahun ini semangat Pilot Indonesia dalam memeriahkan pesta demokrasi tampak jelas terasa. Terlepas dari dukungan yang diberikan kepada calon Presiden yang berbeda, tampak jelas semangat yang sama dari para Pilot Indonesia untuk memberikan karya terbaiknya bagi penerbangan Indonesia. Semangat Bhinneka Tunggal Ika mampu ditunjukkan oleh profesi Pilot Indonesia. Pilihan boleh berbeda, tetapi jiwa dan semangat kebangsaan tetap satu dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Inilah bukti dari keindahan “Unity in Diversity” yang ditunjukkan oleh profesi Pilot Indonesia.

Apapun pilihan mereka semua itu adalah hak masing – masing individu dalam iklim demokrasi di negara kita tercinta ini. Tujuan bersama dari insan penerbangan tetaplah sama dalam menjadikan dunia penerbangan Indonesia menjadi lebih baik dan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Salam Penerbangan.

 

Kaleidoskop Penerbangan Indonesia 2017

Kaleidoskop Penerbangan Indonesia 2017

 

Dunia penerbangan Indonesia tahun 2017 penuh dengan dinamika yang sarat dengan tantangan untuk dipertahankan dan memerlukan perbaikan ke depannya. Banyaknya faktor yang perlu pembenahan tidak hanya menjadi tugas pemerintah saja, tetapi harus dilakukan secara terintegrasi antara semua pihak terkait penerbangan.

Beberapa hal yang mengemuka sepanjang tahun 2017 dalam dunia penerbangan telah kami rangkum sebagai berikut :

Delay Management dan Pelayanan Publik

Penerbangan nasional masih terbentur dengan permasalahan keterlambatan dan pelayanan yang seharusnya diterima konsumen akibat dampak dari keterlambatan. Keterlambatan pesawat sesungguhnya tidak hanya menjadi beban para operator penerbangan saja untuk menanganinya, tetapi menjadi tugas bersama berbagai pihak dalam lingkaran penerbangan. Peran otoritas penerbangan dalam memberikan edukasi publik sangat diperlukan agar konsumen / penumpang dapat memahami kompleksitas dari keterlambatan penerbangan.

Permasalahan keterlambatan melibatkan banyak hal, baik itu dalam kontrol maskapai ataupun di luar kontrol dari pihak maskapai. Beberapa hal terkait keterlambatan penerbangan yang sering terjadi seperti :

  • Faktor cuaca buruk.

Cuaca buruk dapat menyebabkan keterlambatan kedatangan maupun pengalihan pendaratan pesawat dan menjadikan rencana penerbangan pada rute berikut menjadi terlambat karena pesawat tersebut terlambat tiba di bandara tujuan.

  • Faktor layanan lalu lintas udara.

Kejadian di medio Juli 2017 karena ketidaksiapan prosedur dalam peningkatan kapasitas operasional landasan pacu di Bandara Soekarno Hatta menyebabkan terlambatnya banyak maskapai. Banyak pesawat yang terlambat diberikan clearance untuk terbang demi alasan keselamatan penerbangan.

  • Faktor kepadatan lalu lintas udara dan infrastruktur.

Semakin tingginya volume lalu lintas udara yang tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai, seringkali menyebabkan penumpukan traffic di beberapa bandara. Seringkali kita menyaksikan panjangnya antrean pesawat di taxiway dan banyak juga pesawat yang mendarat pada saat yang hampir bersamaan. Pada bandara yang memiliki dua landasan pacu, hal ini masih dapat diatasi dengan mengoptimalkan semua landasan yang ada dan tentunya dengan prosedur yang telah memenuhi kriteria untuk keselamatan penerbangan. Menjadi satu tantangan tersendiri bagi Airnav Indonesia, Angkasa Pura dan otoritas penerbangan dalam membentuk prosedur yang memadai.

  • Implementasi delay management oleh maskapai.

Implementasi delay management seringkali tidak dapat memenuhi harapan konsumen sepenuhnya. Alasan klasik yang sering digunakan maskapai adalah alasan operasional tanpa memberitahukan secara persuasif maksud dari alasan operasional tersebut kepada konsumennya. Delay berkelanjutan ini seringkali memicu kemarahan konsumen yang berujung ricuh di bandara. Selain itu, pemenuhan hak penumpang sesuai dengan Permen No. 89 tahun 2015 yang mengatur mengenai hak penumpang masih belum sepenuhnya dipenuhi oleh maskapai atau tidak dapat memenuhi harapan konsumen yang sudah kecewa atas pelayanan yang diberikan.

  • Terbatasnya jumlah pilot yang tersedia.

Masalah terbatasnya jumlah pilot di maskapai semakin memuncak di tahun 2017 ini. Sudah menjadi rahasia umum jika maskapai mengalami kesulitan mendapatkan pilot yang memenuhi kriteria dan kualifikasi yang diharapkan. Terbatasnya jumlah pilot akan berujung pada keterlambatan atau pembatalan penerbangan karena membutuhkan ketersediaan pilot untuk menerbangkan rute yang dimaksud.

 

Kesuksesan Penerbangan Perdana N-219

Penerbangan pertama pesawat N-219 produksi PT. Dirgantara Indonesia pada 16 Agustus 2017 menjadi suatu momentum kebangkitan industri dirgantara nasional. Pesawat produk putera bangsa ini diharapkan mampu dapat mengisi kebutuhan penerbangan perintis. Dengan memadainya penerbangan perintis ini akan mempercepat pemerataan pembangunan dan ekonomi di Kepulauan Indonesia.

Kelancaran produksi pesawat N-219 tentu sangat diharapkan oleh bangsa ini. Tentunya juga PT. Dirgantara Indonesia perlu untuk tetap konsisten dalam memproduksinya sehingga visi penerbangan perintis sebagai jembatan nusantara dapat terwujud.

 

Pencapaian Kategori I Standar Keselamatan Penerbangan oleh FAA (Federal Aviation Authority)

Pada medio Agustus 2017 DKPPU (Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara) telah berhasil mencapai Kategori I Standar Keselamatan Penerbangan FAA. Kerja keras selama 10 tahun telah membuahkan hasil dengan peningkatan ini. Kategori I FAA ini menjadi parameter tingkat keselamatan penerbangan Indonesia dan menjadi jaminan maskapai Indonesia untuk terbang kembali ke Amerika Serikat dan banyak negara lain yang mensyaraktan hal ini.

Dengan pencapaian kategori I ini menjadikan meningkatnya kepercayaan diri pihak otoritas penerbangan dalam memenuhi persyaratan ICAO. Terbukti pada medio November 2017, Indonesia berhasil melejit dalam aspek tingkat keselamatan penerbangan  dari posisi 151 menjadi posisi 55 dengan pencapaian rata-rata 81% dari yang sebelumnya terpuruk dengan nilai 45% pada tahun 2014.

Penilaian ICAO meliputi 8 elemen mulai dari legislasi, organisasi, lisensi personel, pengoperasian, kelaikan terbang, navigasi, search & rescue, dan bandara. Dengan pencapaian ini menjadi tantangan bagi semua stake holder penerbangan Indonesia dalam mempertahankan dan meningkatkannya agar tahun 2019 Indonesia dapat masuk ke dalam dewan ICAO.

 

Penurunan Jumlah Kecelakaan dan Insiden Penerbangan

Jumlah kecelakaan dan insiden penerbangan secara umumnya relatif menurun pada tahun 2017. Hal yang masih perlu diwaspadai adalah peningkatan jumlah kecelakaan dan insiden pada penerbangan perintis di wilayah Papua. Hingga Juli 2017 terdapat 6 kecelakaan dan 7 insiden di Papua.

Beberapa faktor yang berkontribusi dalam meningkatnya kecelakaan dan insiden penerbangan perintis seperti: disiplin dan prosedur VFR (Visual Flight Rules), unstabilized approach, performa pesawat (kelebihan muatan), kualifikasi pilot, implementasi SMS (Safety Management System), kepatuhan terhadap kelaikudaraan, alat bantu navigasi, infrastruktur bandara dan cuaca. Pembenahan yang masih dan sedang dilakukan oleh pihak otoritas penerbangan antara lain dengan memperpanjang landasan pacu, meningkatkan kapasitas area apron, memperbaiki slot time, memperbaiki layanan navigasi dengan implementasi PBN (Performance Based Navigation) dan membuat SOP untuk bandara yang rawan akan kecelakaan.

Permasalahan pelepasan balon udara yang sudah menjadi tradisi di daerah Jawa Tengah sudah dapat ditangani dengan lebih bijak oleh pihak otoritas. Pendekatan kemasyarakatan yang dilakukan telah membawa hasil positif sehingga masyarakat juga mulai memahami bahaya dari pelepasan balon udara tersebut bagi penerbangan. Pelaporan insiden mengenai balon udara sudah jauh berkurang pada tahun ini.

Implementasi FRMS (Fatigue Risk Management System) bagi awak pesawat menjadi faktor sangat penting dalam mereduksi kecelakaan dan insiden penerbangan. Pendalaman materi dan riset akan FRMS perlu untuk diakselerasi agar secepatnya dapat menjadi bagian dari regulasi penerbangan. Diharapkan dalam waktu dekat, implementasi FRMS sudah dapat dilaksanakan.

 

Permasalahan Pengangguran Pilot Lokal

Pada medio September 2017, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan ada 1200 pilot Indonesia yang masih menganggur. Diprediksi sampai akhir tahun akan ada 1500 pilot yang menganggur. Permasalahan ketidakseimbangan supply-demand sebenarnya telah menjadi masalah laten sejak lama. Perlu dilakukan langkah intergrasi antara lembaga pendidikan, industri dan otoritas untuk mencapai keseimbangan.

Lembaga pendidikan penerbangan (flying school), di satu sisi akan menggenjot produksi pilot untuk mempertahankan pendapatan dan kelangsungan usahanya. Akan tetapi maskapai penerbangan mensyaratkan banyak kriteria dan kualifikasi yang tidak didapatkan oleh pilot ab-initio saat lulus dari flying school kecuali dengan pembiayaan mandiri untuk memenuhi persyaratan yang dimaksud maskapai seperti biaya type rating dan line training. Praktek seperti ini yang dikenal dengan pay-to-fly akan merugikan bagi pilot ab-initio karena nilai pembiayaannya bukanlah sesuatu yang ringan. Padahal pada saat melakukan pelatihan di suatu maskapai maka maskapai tersebut sebenarnya telah menikmati hasil produksi mereka. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus menerus karena akan melahirkan praktek baru akan perbudakan terselubung dalam dunia penerbangan.

Dengan tidak adanya koordinasi yang baik dalam menangani permasalaahan pilot ini, maka bukanlah sesuatu hal yang mengherankan jika Kementerian Perhubungan menyatakan akan banyaknya pilot yang menganggur dan di sisi lain maskapai dalam kenyataannya kekurangan pilot.

 

Penggunaan Narkoba dan Psikotropika  oleh Personel Penerbangan

Permasalahan narkoba oleh personel penerbangan masih saja terjadi hingga penghujung tahun 2017. Penggunaan zat psikotropika ini bagi personel penerbangan terutama bagi pilot akan sangat membahayakan keselamatan penerbangan. “However, some drug have the potential to significantly impair the user’s level of alertness, judgment, reaction time or behavior, leading to transportation accidents.”  (Avalos, 2014; Roth, 2014, li, Bray, and Chen 2013)

Banyaknya peraturan yang melarang penggunaan zat psikotropika ternyata masih belum mampu menahan penggunaan psikotropika bagi personel penerbangan. Perlu ada langkah tegas baik oleh BNN dan Kementerian Perhubungan dalam memberikan efek jera bagi para pengedar dan pengguna psikotropika. Langkah tegas seperti pencabutan permanen lisensi penerbangan  bagi yang bersangkutan harus dilakukan jika sudah terbukti baik sebagai pengguna atau pengedar.

Sedemikian buruknya dampak dari mengkonsumsi narkoba dan psikotropika ini maka dinilai perlu untuk dilakukan kampanye secara terus menerus akan bahaya dari zat – zat tersebut. “Jauhi Narkoba dan Psikotropika, dengan menjauhkan diri dari narkoba dan psikotropika akan menyelamatkkan diri, kesehatan, karir, keluarga dan cerahnya masa depan anda.”

Dengan berbagai pencapaian dan permasalahan yang masih muncul pada penerbangan nasional selama 2017, tentunya kita semua berharap akan kemajuan dan kesuksesan penerbangan nasional dalam tahun berikutnya dalam menuju kejayaan dirgantara Indonesia.
Salam Penerbangan.

Capt. Heri Martanto, BAv.

Memerdekakan Ruang Udara Indonesia

Memerdekakan Ruang Udara Indonesia

 

 

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara dengan bentuk kepulauan yang sangat banyak dan tersebar di berbagai area yang memiliki peran yang sangat strategis dan tantangan tersendiri dalam perekonomian, politik dan stabilitas kawasan. Bagaimanakah pengelolaan sumber daya yang ada di dalam batas territorial negara selama ini baik yang ada di laut, darat dan udara ?

Permasalahan selama ini yang menghangat adalah mengenai pengelolaan ruang udara di sekitar Pulau Natuna atau yang dikenal dengan FIR (Flight Information Region). Hal ini selalu menjadi bahan perdebatan, kajian ataupun seminar yang dalam tingkatan perundingan dan aplikasinya selalu gagal dan sampai saat inipun kita belum berhasil memerdekakan ruang udara tersebut ke dalam pengelolaan dan kontrol ruang udara nasional Indonesia.

FIR merupakan suatu ruang udara yang telah ditetapkan dimensinya di mana di dalamnya diberikan Flight Information Service dan Alerting Service. Flight Information Service adalah pelayanan yang dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan. Alerting Service adalah pelayanan yang diberikan pada organisasi yang berkaitan dengan pesawat terbang/penerbangan yang membutuhkan pertolongan dan membantu organisasi yang membutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan.

Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan serta wilayah sekitar negara dan melekat pada bumi dimana suatu negara mempunyai hak yurisdiksi. Ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 (Convention on International Civil Aviation) yang berarti bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang ada di atas wilayahnya, dan tidak dikenal adanya hak lintas damai. Jadi tidak satu pun pesawat udara asing diperbolehkan melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa izin yang bersangkutan.

Terbentuknya FIR didasarkan kepada Konvensi Chicago 1944 khususnya dalam Annex 11 tentang Air Traffic Services. Dalam bagian ketentuan ini menjelaskan bahwa setiap negara ICAO wajib menentukan bagian-bagian dari wilayah udaranya tempat pemberian pelayanan lalu lintas udara untuk kepentingan keselamatan. Setiap negara harus mengatur pelayanan lalu lintas udara, jika tidak mampu maka harus mendelegasikan tanggung jawab tersebut kepada negara lain. Batas FIR tidak harus sama dengan batas administrasi atau batas teritorial suatu negara.

Sesuai Konvensi Chicago Artikel 22, 68 dan Annex 11 Paragraf 2.1, jika suatu negara mendelegasikan ruang udaranya kepada negara lain, maka tanggung jawab terhadap pengelolaan ATS tersebut di atas teritori negara yang bersangkutan, tidak akan mengesampingkan kedaulatan negara yang mendelegasikan. Dengan kata lain, negara lain yang mengelola hanya terbatas pada permasalahan teknis dan operasional, dan tidak akan keluar dari konteks keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas yang menggunakan airspace dimaksud. Selanjutnya dibutuhkan suatu perjanjian antara kedua belah pihak yang berisi persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat pelayanan yang akan diberikan. Diharapkan negara yang mendelegasikan dapat menerima ketentuan di atas dan tidak akan merubah ketentuan-ketentuan yang telah dibuat tanpa adanya persetujuan dari negara yang memberikan pelayanan lalu lintas penerbangan. Keduanya dapat menghentikan kesepakatan yang telah dicapai sewaktu-waktu.

FIR Indonesia yang ada saat ini terbagi menjadi 2 area, FIR Jakarta di barat dan FIR Ujungpandang di timur. Sejak tahun 1946 dikarenakan perlengkapan dan SDM penerbangan Indonesia yang masih sangat minim saat itu menyebabkan terjadinya pendelegasian pengelolaan FIR di area Kepulauan Riau kepada Singapura dan Malaysia. Pendelegasian inipun diperkuat dengan kesepakatan RAN I (Regional Air Navigation) pada tahun 1973 di Honolulu, Malaysia menguasai sektor B yang juga bersinggungan dengan sektor A dan C yang dikuasai oleh Singapura. Pertemuan RAN ini diadakan oleh ICAO dengan periode 10 tahun sekali dan hingga pertemuan RAN yang terakhir pun masalah FIR sector A,B dan C masih belum dapat kembali kepada Indonesia.

 

Screenshot_20170821-010354

Pasal 458 UU No. 1 Tahun 2009, Indonesia menegaskan bahwa wilayah udara RI yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak UU tersebut berlaku. UU No 1 Tahun 2009 mulai berlaku tanggal 12 Januari 2009 dan artinya pada 12 Januari 2024, ruang udara Kepulauan Natuna harus beralih dari FIR Singapura menjadi FIR Jakarta.

Pada medio November 2015, Presiden RI telah mencanangkan pengambilalihan ruang udara tersebut dari Singapura dalam 3-4 tahun ke depan. Hal ini menarik dan menjadi perbincangan hangat karena jika mengacu kepada UU No.1/2009 maka pencanangan ini adalah percepatan dari hal yang sudah direncanakan sebelumnya. Persiapan dan kesiapan tentunya harus diselaraskan sesuai dengan instruksi presiden terakhir ini.

Banyaknya pihak yang mengesampingkan bahwa masalah FIR ini menyangkut kedaulatan negara terkesan menunjukkan pesimisme akan kemampuan bangsa ini dalam mengelola ruang udaranya. Memang batas FIR tidak harus sesuai dengan batas territorial, tetapi jika pemerintah Indonesia kemudian menetapkan beberapa batas udara sesuai dengan batas territorial yang ada maka tinggal memerlukan kesepakatan antar negara yang kemudian disahkan oleh ICAO. Dalam hal ini pengendalian wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna  yang masih berada di bawah kontrol Singapura jelas akan melemahkan Indonesia dalam hal pertahanan udaranya. Indikasi melintasnya black flight di wilayah teritori Indonesia tetapi berada di FIR Singapura akan sangat mungkin terjadi.

Pendelegasian wilayah udara sector A,B dan C sebenarnya menyangkut masalah teknis dan operasional keselamatan penerbangan sipil. Insiden yang pernah mengemuka terjadi pada tahun 1991 dimana pesawat yang mengangkut Jenderal L.B. Moerdani ditolak mendarat di Natuna karena tidak mendapatkan izin dari otoritas penerbangan Singapura. Setelah bernegosiasi akhirnya diizinkan mendarat di Natuna. Menggelikan jika hal ini masih terjadi sampai sekarang, bagaimana bisa seorang pejabat tinggi negara harus mendapatkan izin dari negara lain saat akan melakukan kunjungan kerja ke daerah yang wilayah udaranya dikelola oleh negara lain? Tentunya secepatnya hal ini harus dihentikan.

Dalam hal wilayah udara Indonesia yang masih dikelola oleh pihak asing tentunya Indonesia pun harus mempersiapkan banyak hal antara lain :

  1. Mendefinisikan secara jelas mengenai Reallignment wilayah udara yang merupakan batas teritorial Indonesia berdasar UNCLOS 1982. Working Paper No.55 pada tahun 1993 perlu dikaji ulang. Hal ini memerlukan pijakan perundangan mengenai kedaulatan udara Republik Indonesia. Penyempurnaan UU No.1 Tahun 2009 perlu untuk dilakukan agar pemerintah dapat melaksanakan amanat undang – undang secara tegas dan terukur.
  2. Pembentukan Task Force Reallignment FIR yang terkoordinasi dibawah kementerian yang ditunjuk. Pembentukan task force ini akan melaksanakan misi realignment secara terpadu baik dalam hal perundingan antar negara ataupun lobi secara internasional di ICAO.
  3. Kegiatan bersama sebagai Strategic Partnership antara otoritas penerbangan negara kawasan mengenai pengelolaan FIR. Kegiatan dimaksud sebagai langkah kerja sama kawasan dan mempromosikan keunggulan Indonesia dalam pengelolaan FIR. Premise untuk hal ini sudah jelas menjadi tugas besar insan penerbangan Indonesia karena kita masih memiliki pekerjaan rumah yang banyak dalam memperbaiki hasil audit ICAO USOAP agar jauh melebihi pencapaian rata-rata dunia penerbangan.
  4. Membenahi infrastruktur dan SDM penerbangan yang handal, tidak hanya sekedar memenuhi persyaratan minimum yg dipersyaratkan tetapi melebihi dari persyaratan minimum yang ada. Hal ini bermanfaat dalam menjaga kontinuitas dan konsistensi menjaga kualitas mutu penerbangan nasional kita. Perlu diingat jika perkembangan dunia penerbangan sangat pesat dan kita memerlukan manusia dan peralatan yang handal dalam mengikuti perkembangan ini.
  5. Membuat policy dan prosedur yang dinamis dalam penerbangan. Seringkali kita menemukan celah dalam hal policy dan prosedur dikarenakan langkah antisipasi yang kurang tajam atas berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di saat pembentukan policy dan prosedur tesebut. Sangat disayangkan jika banyak terjadinya perubahan dilakukan setelah terjadinya suatu permasalahan.
  6. Detterent Power yang memadai. Sebagai bentuk konsistensi dalam menjaga kedaulatan negara sangat memerlukan dukungan militer secara nyata. Komitmen pemerintah dalam membangun pangkalan militer di wilayah terluar dan pengembangan wilayah terluar Indonesia sangat diperlukan. Kemampuan negara dalam mengatasi dan melakukan intersepsi terhadap banyaknya black flight di wilayah udara Indonesia sangat diperlukan kehadirannya. Pembangunan pangkalan udara tipe A di wilayah terluar pun harus seiring dengan pembangunan wilayah yang direncanakan. Sudah merupakan suatu doktrin jika keamanan dan pertahanan dilakukan secara selaras dan berimbang antara sipil dan militer.

Konsistensi  dan kontinuitas dalam melaksanakan instruksi presiden mengenai pengambilalihan ruang udara territorial Indonesia yang dikelola oleh negara asing sangatlah dibutuhkan. Reallignment yang dicanangkan memerlukan pemikiran, strategi dan kegiatan yang intens sehingga “memerdekakan” wilayah udara (FIR) Indonesia pada 2019 dapat terwujud. Jika belum terwujud pada tahun 2019 maka kesempatan berikutnya akan jatuh pada RAN meeting tahun 2023 dengan implementasi di tahun 2024 sesuai amanat Undang – Undang No.1 Tahun 2009.

 

Salam Penerbangan,

Capt. Heri Martanto, BAv.