Kado Terindah Penerbangan Nasional

Kado Terindah Penerbangan Nasional

 

 

 

Penerbangan pertama pesawat N-219 produksi PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) pada 16 Agustus 2017 telah berhasil dilaksanakan dengan sukses. Momen yang sangat membanggakan ini laksana sebuah pertanda akan kebangkitan kembali industri dirgantara Indonesia. Selain itu, momen ini juga menjadi sebuah kado terindah bagi republik ini menjelang perayaan kemerdekaannya yang ke 72.

Proses pembuatan pesawat terbang bukanlah sesuatu hal yang mudah. Pencanangan program N-219 ini telah dimulai sejak tahun 2007, memerlukan waktu 10 tahun sejak pencanangan program sampai terealisasinya uji coba terbang yang pertama. Berbagai tahapan yang sangat kompleks harus dilalui dalam pembuatan sebuah pesawat terbang.

Rancang bangun N-219 yang sepenuhnya dilaksanakan oleh anak bangsa ini telah melalui banyak tahapan yang dipersyaratkan dalam kelayakan sebuah pesawat terbang dimulai dari Conceptual Design, Preliminary Design, Detail Design sampai kepada Prototype Construction. Proses sertifikasi yang dilakukan tentunya sesuai dengan CASR (Civil Aviation Safety Regulation) Indonesia bagian 21, 23, 33, 34, 35 dan 36. Perlu kita pahami bersama bahwa CASR Indonesia ini telah mengadopsi US FAR (Federal Aviation Regulations) bagian 21 dan 23 serta regulasi di Eropa EU 748/2012 mengenai DOA (Design Organization Approval).

Proses rancang bangun tersebut juga harus dibuktikan melalui tahapan – tahapan uji coba secara nyata baik di laboratorium, di darat dan di udara. Seluruh tahapan tersebut telah dilalui PTDI dengan pengawasan secara ketat oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Semua yang telah dilakukan oleh anak bangsa ini telah terbukti dengan pelaksanaan penerbangan perdana N-219 pada 16 Agustus 2017. Keberhasilan ini tentu saja membangkitkan kepercayaan diri bangsa ini dalam kancah dunia dirgantara dan sebuah pertanda kebangkitan jika kita mampu untuk mandiri di udara.

Tahapan selanjutnya yang sangat penting untuk dilalui adalah proses mendapatkan Type Certificate (TC), Certificate of Airworthiness (COA) dan Production Certificate (PC). Dengan terpenuhinya sertifikat tersebut, maka nantinya semua produk N-219 yang keluar dari hangar PTDI adalah sebuah produk pesawat yang layak jual dan layak terbang.

Pesawat N-219 merupakan suatu jenis pesawat yang sangat dibutuhkan oleh negara kepulauan seperti Indonesia. Sasaran penggunaan N-219 sangat beragam karena dapat dimanfaatkan untuk penerbangan perintis, SAR & Medical Evacuation, pesawat angkut kargo dan dapat dikonversikan menjadi pesawat amfibi. Dengan beragamnya sasaran penggunaan ini dapat mempercepat program pemerataan pembangunan, mendukung ketahanan energi dan pangan serta mendukung pertahanan dan keamanan nasional.

Di samping kegunaan tersebut, pesawat N-219 telah mengusung teknologi mutakhir dalam sistem pengendalian, avionics dan navigasi. Walaupun bermesin propeller pesawat ini mengusung teknologi “state of the art” yang sebanding dengan pesawat bermesin jet masa kini. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan teknologi dirgantara oleh anak bangsa ini sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Kompleksitas teknologi yang ada berhasil dibenamkan ke dalam pesawat ini.

 

1436188cockpit-N219780x390

 

Dalam menjawab kebutuhan bidang penerbangan nasional, produk pesawat N-219 bukanlah suatu hal yang kecil. Ini merupakan suatu loncatan besar dalam pengembangan dunia dirgantara nasional. Dengan lancarnya produksi N-219 ini saja sudah tentu akan membuka lapangan pekerjaan bagi ribuan anak bangsa yang berprofesi dalam dunia kedirgantaraan baik dari produksi, perawatan, operasional dan industri terkait lainnya.

Selain itu pula, keberhasilan N-219 nantinya akan menaikkan posisi tawar Indonesia dalam hal alih teknologi untuk pembuatan pesawat bermesin jet maupun berbadan lebar. Hal ini sangatlah penting karena hingga saat ini pesawat yang digunakan masih didominasi oleh pesawat – pesawat produk Amerika atau Eropa. Akan sangat membanggakan jika dalam beberapa tahun ke depan anak bangsa ini mampu memproduksi pesawat yang akan menggantikan pesawat – pesawat yang beroperasi pada saat ini.

Keberhasilan proyek N-219 memiliki arti sangat penting juga bagi profesi pilot. Peningkatan jumlah pengangguran pilot yang diperkirakan hampir 1200 orang pada saat ini akan dapat dikurangi. Jika saja kondisi perekonomian dan penerbangan nasional tetap meningkat maka kebutuhan nasional akan penerbangan perintis dan komersial dalam 5 – 10 tahun ke depan diproyeksikan membutuhkan penambahan pesawat sekelas N-219 sebanyak sekitar 110 unit. Dengan rasio 1 : 3  sudah dapat dikalkulasi akan dibutuhkan sejumlah 660 pilot untuk mengoperasikannya. Hal ini tentunya sangat membantu penyerapan tenaga kerja pilot yang saat ini belum tertampung dalam industri penerbangan.

Setelah keberhasilan penerbangan perdana N-219 tentunya tidak membuat insan dirgantara Indonesia bisa berpangku tangan. Masih ada pekerjaan rumah sampai pesawat ini dapat diproduksi secara masal dan berbagai proyek pesawat lainnya seperti program N-245. Bangsa dan negara ini akan tetap menantikan karya besar berikutnya yang akan mampu membawa negara ini menuju Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian.

 

Salam Penerbangan

Capt. Heri Martanto, BAv.

( Kredit kepada : Heber Mey Fredryk Panjaitan )

Pilot Indonesia dalam 72 Tahun Kemerdekaan

Pilot Indonesia dalam 72 Tahun Kemerdekaan

photo_2017-08-12_12-09-24 copy

Perjalanan profesi pilot Indonesia berjalan seiring dengan perjalanan bangsa Indonesia sejak era kemerdekaan. Pasang surutnya profesi pilot telah dilalui dalam periode yang cukup panjang seiring dengan jatuh bangunnya bangsa ini dalam mewujudkan cita-cita mulia bangsa ini.

Profesi pilot merupakan suatu profesi yang strategis bagi negara dalam mendukung pertahanan, keamanan, ekonomi dan sosial bangsa. Dalam hal pertahanan dan keamanan nasional pilot dapat berperan sebagai partner pemerintah dalam melakukan pengawasan daerah – daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh moda transportasi lainnya. Dalam mencapai hal ini perlu suatu pemahaman nilai bernegara dan wawasan kebangsaan yang ditanamkan sejak awal pendidikan dan komitmen pemerintah secara konsisten.

Dalam hal ekonomi dan sosial pilot memiliki peran sebagai agen ujung tombak operasional penerbangan. Pilot memiliki tanggung jawab moral dalam keberlangsungan operasional penerbangan dari hari ke hari. Dengan lancarnya operasional penerbangan tentunya akan memperlancar terjadinya arus perpindahan manusia, kemajuan industri pariwisata dan distribusi barang dan jasa yang akan sangat bermanfaat untuk pembangunan dan perputaran roda perekonomian.

Pada 72 tahun kemerdekaan kondisi profesi pilot pun tidak terlepas dari berbagai masalah. Harapan dan impian pilot Indonesia akan adanya eksistensi organisasi profesinya dalam memperjuangkan profesi pilot masih penuh dengan pertanyaan. Euforia terbentuknya organisasi profesi pilot sudah berlalu, karya dan hasil nyata yang saat ini dinantikan oleh seluruh pilot Indonesia pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Profesi pilot masih menghadapi permasalahan dengan terjadinya penumpukan pilot yang tidak terserap pada lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Jumlahnya pun saat ini sudah jauh melebihi dari saat terjadinya krisis moneter tahun 1998. Perencanaan dan langkah strategis mengatasi permasalahan ini pun masih belum tampak secara jelas. Perencanaan dan proyeksi perkembangan industri penerbangan nasional secara proporsional tidak dilakukan secara terstruktur sehingga menyebabkan over supply dari sekian banyaknya lembaga pendidikan penerbangan yang ada.

Di sisi lain lembaga pendidikan penerbangan tetap saja gencar mempromosikan bahwa profesi pilot sebagai sesuatu yang sangat menjanjikan dan sangat dibutuhkan pada saat ini walaupun dalam kenyataannya tidaklah sefantastis demikian. Biaya yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pilot tidaklah sedikit, dan setelah memiliki sertifikasi yang dipersyaratkan belum tentu langsung terserap pada industri penerbangan yang ada, harus menunggu sampai industri membutuhkan. Waktu menunggu sampai terserap pun bukanlah waktu yang pendek, tetapi cukup panjang yang bisa memakan waktu 3-7 tahun jika melihat kondisi saat ini.

Di saat terjadinya over supply maka masalah ketenagakerjaan bagi profesi pilot akan sangat wajar untuk terjadi. Pilot tidak lagi menjadi satu aset bagi industri dan bergeser menjadi bagian dari alat produksi. Masalah ketenagakerjaan inipun beragam, dengan terjadinya ikatan dinas yang eksploitatif, status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dan pelanggaran yang dilakukan korporasi terhadap UU Ketenagakerjaan yang berlaku.

Permasalahan akreditasi profesi pilot agar menjadi bagian dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) juga menghadapi banyak kendala. Hingga saat ini di negara kita masih belum memiliki program studi yang terakreditasi bagi profesi pilot. Banyak institusi pendidikan tinggi yang berlomba mempromosikan program tingkatan S2/Master ataupun double degree untuk penerbangan yang sayangnya  tidak ada yang secara spesifik bagi profesi pilot sementara di luar negeri sudah mengenal gelar penerbangan secara spesifik seperti Bachelor of Aviation (BAv) dan Master of Aviation (MAv). Akreditasi profesi pilot bukan sekedar tanggung jawab pemerintah, tetapi harus berangkat dari kepedulian para pemilik profesi untuk mendapatkan kesetaraan dalam tingkatan akademis ataupun vokasi. Segenap pilot Indonesia bersama dengan organisasi profesi pilot yang ada harus mampu memulai langkah akreditasi jika tidak ingin semakin tertinggal oleh profesi lainnya seperti pelaut, dokter, pengacara, perawat dan lain-lain.

Demikian kuatnya pengaruh kapitalisme saat ini pada industri penerbangan nasional akan membawa profesi pilot ke dalam jurang kegelapan dan keterpurukan. Menjadi seorang pilot profesional bukan hanya sekedar untuk menerbangkan pesawat dan mendapatkan imbalan berupa materi/kapital dan lalu melupakan masa depan profesinya.

Profesi Pilot Indonesia harus dimerdekakan dari segala permasalahan yang mengekangnya. Segenap pilot Indonesia ataupun organisasi yang selama ini mengklaim dirinya sebagai organisasi profesi pilot wajib memerdekakan seluruh pilot Indonesia dan mengangkat harkat dan martabat profesi pilot jika tidak ingin tertinggal atau yang lebih buruknya malahan akan ditinggalkan. Dengan model kepemimpinan profesi atau organisasi profesi yang efektif, visi yang jelas dan kerja nyata, bukan hanya sekedar show off ataupun lips service maka memerdekakan profesi pilot Indonesia bukanlah suatu keniscayaan.

Pada akhirnya masyarakat luas dan bangsa akan bertanya “Sudah sampai mana karyamu untuk bangsa dan negara?”

Merdeka Bangsaku, Merdeka Pilot Indonesia

 

Salam Penerbangan,

Capt. Heri Martanto, BAv.

Problematika Ketenagakerjaan Profesi Pilot

Problematika Ketenagakerjaan Profesi Pilot

 

I. Latar Belakang

Perkembangan kondisi sektor penerbangan Indonesia saat ini sudah cukup menggembirakan. Hal ini tercermin dengan terjadinya ekspansi pasar domestik dan internasional yang dilakukan oleh beberapa maskapai nasional. Selain itu, dalam lingkup nasional kita juga menghadapi berbagai tantangan untuk tetap mampu menjadi “role player” dengan kemampuan dalam menguasai potensi dan pasar penerbangan domestik dari infiltrasi dan ekspansi maskapai internasional.

Dalam mengiringi perkembangan tersebut tentunya akan diperlukan adanya stabilitas politik dan ekonomi, iklim investasi yang sehat dan terjaminnya ketersediaan sumber daya manusia yang berkompeten dalam bidangnya. Industri penerbangan seperti kita pahami bersama merupakan suatu jenis industri yang padat modal dan padat karya dengan margin keuntungan yang terbatas dikarenakan yang menjadi faktor penentu kesuksesan bisnis penerbangan adalah pada tingkat keselamatan yang sangat tinggi dan kemudian diiringi dengan tingkat pelayanan yang baik.

Sesuai data dari NTSB (National Transportation Safety Board) dinyatakan jika kecelakaan pesawat terjadi pada rasio 1:1,2 juta. Statistik tersebut menunjukkan jika bepergian dengan pesawat terbang jauh lebih aman dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Namun menurut David Ropeik, seorang Instruktur Komunikasi Resiko di Harvard School of Public Health, perjalanan udara terasa lebih berbahaya karena persepsi resiko. Mengemudi memberi kontrol yang lebih personal sehingga membuat orang merasa lebih aman. Hal itulah yang tidak didapatkan saat bepergian menggunakan pesawat terbang.

Ketergantungan penumpang kepada Pilot merupakan satu hal yang mutlak, aktivitas Pilot di kokpit tidak bisa diinterupsi atau diintervensi oleh penumpang di dalam pesawat. Spesifiknya keahlian Pilot tidak bisa digantikan oleh penumpang biasa maupun Pilot yang menjadi penumpang karena faktor perbedaan jenis pesawat yang dikuasainya. Ditambah lagi dengan persyaratan pintu kokpit yang anti peluru, menyebabkan beberapa kejadian seperti yang terjadi di Jerman Wing, Silk Air dan beberapa kejadian lainnya yang dikarenakan kelalaian Pilot dan tak seorangpun bisa mengambil alih kontrol. Hal – hal seperti itulah yang membuat banyak orang tidak merasa aman menggunakan transportasi udara.

Faktor psikologis Pilot dalam menjalankan tugas memegang peranan penting dalam kesuksesan suatu misi penerbangan. Fisik dan psikis yang sehat merupakan suatu keharusan bagi Pilot dalam kelangsungan profesinya. Sebelum dimulainya suatu misi penerbangan pada suatu hari, setiap pilot wajib melakukan pemeriksaan kesehatan sebagai satu bentuk jaminan dan tanggung jawab akan kesuksesan misi penerbangan yang diemban. Kesehatan psikologis bagi Pilot dapat dicapai dengan mereduksi pengaruh dari faktor luar yang dapat menyebabkan stress. Faktor luar seperti adanya peraturan yang baik, kondisi kerja yang kondusif dan jaminan kelangsungan kerja dan sosial yang baik akan sangat menunjang dalam mereduksi faktor yang dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan faktor kelalaian manusia (human factor).
Demikian krusialnya peranan Pilot dalam melaksanakan tugas profesinya memerlukan adanya acuan peraturan yang mengikat dari berbagai aspek yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pengguna jasa dan profesi Pilot itu sendiri.

II. Problematika

Berdasarkan peninjauan dari kondisi yang terjadi pada sektor penerbangan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan bagi profesi pilot, ditemukan beberapa hal sebagai berikut :

1. Jumlah tenaga kerja pilot lokal yang telah memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan dan dapat diberdayakan pada perusahaan penerbangan domestik tercatat telah mencapai 9.000 pilot. Jumlah ini terbagi dengan belum terserapnya sekitar 1.000 pilot pemula pada lapangan pekerjaan yang tersedia.

Terjadinya pengangguran pilot pemula ini disebabkan karena hampir semua maskapai tidak memposisikan profesi pilot sebagai aset dari perusahaan. Skema “pay to fly” sudah diaplikasikan pada beberapa maskapai. Dengan skema ini perusahaan melepas tanggung jawab mereka dalam peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja. Hal ini bertentangan dengan pasal 11 dan pasal 12 pada UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.

Selain itu, perjanjian ikatan dinas atau ikatan wajib kerja yang diaplikasikan kepada pilot pemula juga sudah di luar batas kewajaran. Perjanjian yang dibuat sangat berat sebelah dan tidak memenuhi asas keadilan dengan memberlakukan ikatan yang bervariasi antara 10 sampai 18 tahun dan dengan konsekuensi penggantian materil apabila perjanjian tidak dipenuhi adalah sebesar penghasilan pekerja selama masa perjanjian tersebut.

2. Profesi pilot hingga saat ini masih belum memiliki acuan perundangan tersendiri yang menyangkut aspek “lex specialis” pada UU Ketenagakerjaan.

Dengan faktor kekhususan ini sesungguhnya dinilai perlu adanya acuan yang jelas dan tegas dalam mengatur tatanan kerja bagi profesi pilot. Ada beberapa kendala dalam membentuk perundangan bagi profesi pilot, antara lain :

a. Belum masuknya profesi pilot dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menyebabkan ketidakjelasan kualifikasi jenjang profesi dalam kesetaraan pada bidang pendidikan dan/atau pekerjaan lainnya. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemilik profesi pilot dan Kementerian Perhubungan dalam melakukan penyetaraan yang seimbang dalam kerangka kualifikasi tersebut.

b. Acuan minimum dalam pengaturan tatanan kerja bagi pilot hanya terdapat pada Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS/CASR). Hingga saat ini belum ditemukan formulasi yang baik dalam pengaturan ini dikarenakan belum tersedianya hasil riset mengenai “Fatigue and Risk Management Systems” (FRMS) yang dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi penerbangan nasional. FRMS akan sangat berguna dalam menentukan desain dari perundangan atau peraturan kerja yang mengikat bagi profesi pilot.

3. Terjadi banyaknya penyimpangan perjanjian kerja yang tidak adil dan berimbang yang telah melanggar dari UU Ketenagakerjaan , seperti :

a. Terjadinya bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu bagi profesi pilot. Sesuai dengan pasal 59 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang mensyaratkan bahwa jenis pekerjaan yang menjadi inti dari bisnis perusahaan, pekerjaan yang terus menerus, bukan pekerjaan musiman atau pengenalan suatu produk tidak dapat dikenakan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku di beberapa perusahaan juga menyalahi ketentuan dari PP No.28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, yaitu bahwa PKB hanya berlaku untuk pilot berstatus pegawai tetap (PKWTT). Sementara itu di pasal 15 PP No.28/2014 mensyaratkan bahwa PKB harus berlaku untuk pegawai PKWTT dan PKWT. Pembentukan PKB seperti tersebut sekaligus juga melanggar pasal 6 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan : “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi pengusaha”.

b. Terjadinya bentuk perjanjian kerja yang kurang patut dengan tidak mengikuti UU No. 13 Tahun 2003 secara utuh yang berdampak pada tidak adanya kepastian kelangsungan pekerjaan (status kepegawaian) dan tidak adanya jaminan kesejahteraan atau jaminan sosial yang sesuai.

UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah mengatur dalam pasal 86 tentang keselamatan dan kesehatan kerja, pasal 99 tentang jaminan sosial, pasal 156 tentang hak pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak. Dengan tidak dipatuhinya pasal – pasal tersebut dapat menyebabkan demotivasi dan disharmoni antara perusahaan dan pekerjanya.

c. Beberapa maskapai tidak atau masih belum memiliki adanya Peraturan Perusahaan yang mengatur mengenai hubungan kerja antara perusahaan dan profesi pilot. Pasal 108 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah mengatur keharusan adanya peraturan perusahaan. Hal ini pada akhirnya menyebabkan ketidakjelasan bentuk hubungan kerja yang ada dan dapat menyebabkan dampak yang lebih buruk di kemudian hari.

d. Masih terjadinya pelarangan secara langsung ataupun tidak langsung akan pembentukan serikat pekerja pada beberapa perusahaan penerbangan. Hal ini telah melanggar dari ketentuan pada pasal 104 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang mengatur mengenai serikat pekerja / serikat buruh.

III. Implikasi

Dari beberapa permasalahan ketenagakerjaan pada profesi Pilot yang terjadi tersebut dapat berimplikasi kepada beberapa hal, seperti :

a. Putusnya regenerasi profesi Pilot Indonesia yang akan sangat dibutuhkan dalam kerangka pengembangan sektor penerbangan yang akan terus berkembang di masa depan.

b. Membanjirnya Tenaga Kerja Asing untuk mengisi kebutuhan jumlah Pilot di Indonesia. Secara global angka potensi pengangguran Pilot sudah cukup mengkawatirkan sehingga perlu langkah strategis secara multi dimensi dalam melindungi kepentingan nasional akan keberadaan Pilot Indonesia dan membendung arus masuk Pilot asing. Dinilai perlu adanya deregulasi mengenai penggunaan TKA terutama dalam hal sistem perekrutan dan remunerasi yang sangat timpang dengan Pilot lokal.

c. Menurunnya tingkat kompetensi dan daya saing Pilot Indonesia dikarenakan tidak terjadinya sinergi antara perusahaan penerbangan, otoritas dan individu Pilot itu sendiri. Dengan tidak mematuhi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 sesungguhnya perusahaan telah lalai dalam turut serta mengembangkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM). Degradasi yang terjadi secara terstruktur akan sangat berbahaya bagi penerbangan nasional. Pengembangan SDM tidak dapat hanya diserahkan menjadi kewajiban dan tanggung jawab kepada satu pihak saja, tetapi harus dibangun melalui satu sistem yang saling mendukung.

d. Menurunnya produktivitas sektor penerbangan yang dipengaruhi oleh demotivasi dan degradasi moral insan penerbangan secara umum dan Pilot secara khusus. Untuk itu dalam jangka pendek dinilai perlu adanya ketegasan pemerintah dalam penegakan perundangan dan peraturan yang berlaku dan dalam jangka panjang perlu adanya suatu perundangan atau peraturan tersendiri bagi profesi Pilot yang dapat melindungi keberlangsungan profesi ini sekaligus mengembangkan segala potensi yang ada pada sektor penerbangan.

Demikian problematika dan implikasi yang terjadi pada ketenagakerjaan profesi Pilot. Peran seluruh pihak akan menjadi sangat diperlukan dalam menjamin keberlangsungan dan pengembangan profesi pilot sebagai ujung tombak dalam memajukan sektor penerbangan.

Pada akhirnya Pilot Indonesia harus menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, jangan terjadi secara terbalik dimana Pilot Indonesia justru menjadi tamu yang terasa asing di negaranya sendiri.

Salam Penerbangan,
Capt. Heri Martanto, BAv.

Posisi Direktur Operasi Pada Suatu Maskapai Penerbangan

Posisi Direktur Operasi Pada Suatu Maskapai Penerbangan

 

Pemberitaan akhir – akhir ini mengenai hasil RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) PT. Garuda Indonesia Tbk. masih hangat menjadi pembicaraan dikarenakan posisi Direktur Operasi dan Direktur Perawatan yang menghilang dari jajaran direksi layaknya suatu perusahaan penerbangan. Sekilas kita akan melihat keanehan, bagaimana mungkin operasional penerbangan bisa berjalan normal tanpa adanya seorang Direktur Operasi? Ini menarik untuk disimak lebih dalam.

Dalam setiap penyelenggaraan RUPS, pasti sudah mempersiapkan beberapa agenda yang dianggap perlu untuk dibicarakan. Apalagi jika agenda itu adalah mengenai pergantian direksi. Sebelum menunjuk seseorang menjadi direksi sudah barang tentu pemegang saham terbesar dalam hal ini pemerintah akan melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Hasil dari uji kelayakan dan kepatutan akan menjadi syarat layak atau tidaknya seseorang menduduki posisi tertentu. Untuk lebih detilnya bisa merujuk kepada Peraturan Menteri  Badan Usaha Milik Negara Nomor  PER-03/MBU/02/2015 Tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan, dan Pemberhentian Anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara.

Kembali kepada maskapai, berdasarkan CASR, haruskah ada posisi Direktur Operasi pada perusahaan penerbangan? Mari kita lihat satu persatu.

 

b-6

b7

Pada CASR 121.59 butir (a), persyaratan minimum struktur organisasi maskapai adalah seperti yang dipersyaratkan atau yang ekuivalen. Hal ini dimaksudkan apabila suatu maskapai mempunyai variasi dari ketentuan tersebut maka hal ini masih dimungkinkan dengan ketentuan yang ada pada  CASR 121.59 butir (b). Penamaan atau bentuk organisasi suatu maskapai bukan menjadi harga mati seperti syarat minimum tersebut diatas.

Seseorang boleh diberikan otorisasi bertindak dalam hal kontrol atas operasional maskapai jika memenuhi persyaratan pada CASR 121.59 butir (d) yang mensyaratkan 4 hal utama. Jika memang memenuhi syarat tersebut maka seseorang bisa menjalankan tugas sebagai direksi maskapai. Kemudian setelah itu menjadi tugas pemilik saham untuk mendaftarkan nama individu yang ditunjuk sebagai anggota direksi kepada Direktur DKPPU (Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara).

Lalu apalagi kualifikasi minimum untuk dapat mengisi posisi yang ada pada suatu maskapai? Pada CASR 121.61 menjelaskan minimum kualifikasi dari beberapa posisi kunci yang diperlukan oleh suatu maskapai. Pada CASR 121.61 butir (c) mensyaratkan kualifikasi minimum untuk personel pada posisi Direktur Operasi jika memang posisi itu ada.

b8

b9

Melihat pada hasil RUPS tahun 2017 PT. Garuda Indonesia ternyata posisi Direktur Operasi ditiadakan. Akan menjadi suatu kejanggalan dikarenakan siapa yang akan menjalankan fungsi operasional maskapai padahal maskapai bergerak dalam pelayanan transportasi masyarakat. Lantas mengapa posisi Direktur Operasi sampai ditiadakan?

Mungkin ada berapa alasan yang menyebabkan dihapuskannya Direktur Operasi dari suatu maskapai. Posisi Direktur Operasi yang semestinya diisi oleh seorang pemegang lisensi ATPL yang notabene adalah seorang pilot memang tidak bisa digantikan oleh profesi lainnya. Akan menjadi lain apabila komisaris maskapai menilai jika orang – orang yang akan mengisi posisi itu ternyata dinilai tidak layak pada saat dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Sehingga akan sangat memungkinkan juga jika fungsi itu dilakukan oleh direksi lain yang membawahi kontrol operasional seperti misalnya Direktur Produksi.

Pada CASR 121.61 butir (h) kondisi tersebut diatas masih memungkinkan untuk diatasi. Jika saja direksi yang terkait dapat membuktikan melalui visi, misi dan langkah implementasi yang tepat dan dapat memenuhi kriteria menurut Direktur DKPPU maka hal ini bisa saja dilakukan. Sekilas hal ini menjadi sesuatu yang sangat subyektif, tetapi kembali lagi kalau hal ini adalah diskresi dari kewenangan Direktur DKPPU.

Jika saja yang menjadi kendala adalah permasalahan kelayakan, maka akan menjadi suatu titik balik yang baik untuk pilot agar dapat membenahi jajarannya. Proses pelatihan, regenerasi, penilaian kompetensi dan pengkaderan mungkin terlupakan selama ini sehingga berujung pada hilangnya posisi Direktur Operasi pada saat ini. Refleksi ini akan sangat baik jika dioptimalkan dengan menyegerakan proses yang hilang tersebut.

Mengadopsi  praktek yang sudah umum dilakukan dan legal secara internasional dalam meningkatkan kompetensi pilot perlu untuk dilakukan. Perlu sedikit modifikasi sesuai kondisi dan tidak perlu terlalu banyak dilakukan perubahan dari “common practice” tersebut yang nantinya menyebabkan deviasi yang terlalu jauh. Tuntutan pada posisi Direktur Operasi tidak hanya membutuhkan kecakapan “pilot skill” semata tetapi juga membutuhkan keluasan visi dan kemampuan manajerial yang baik.

 

Salam Penerbangan,

Capt. Heri Martanto, BAv.

 

Optimisme Sektor Penerbangan Nasional

Optimisme Sektor Penerbangan Nasional

 

Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang terdiri dari 18.306 pulau (LAPAN, 2002) yang tersebar di seantero nusantara. Mayoritas penyebaran pulau ini dibatasi oleh lautan sehingga dikenal dengan paradigma 1/3 adalah kepulauan dan 2/3 adalah lautan. Sering kita terlupa jika masih ada satu media yang tertinggal yaitu udara sebagai selubung dan penghubung nusantara.

Maka akan lebih tepat dalam era modernisasi ini paradigma tersebut dimutakhirkan menjadi 1/3 kepulauan, 2/3 lautan dan 3/3 udara sehingga dimensi pemikiran untuk pembangunan kita akan menjadi lebih lengkap. Udara menjadi dimensi pelengkap dalam pembangunan moderen yang memiliki potensi pengembangan yang sangat besar dan luar biasa.

Sektor penerbangan nasional hingga saat ini masih sangat membutuhkan perhatian lebih dalam mengikuti perkembangan penerbangan dunia pada umumnya. Menurut International Air Transportation Association (IATA) pertumbuhan penerbangan dunia akan transportasi penumpang udara akan meningkat 6,9% (3,8 milyar penumpang) dan 3% (52,7 juta ton) untuk transportasi kargo dengan pertumbuhan global GDP sebesar 2,7% dan rata – rata batas keuntungan yang meningkat menjadi 5,1% pada 2016 (IATA Press Release No.58, 2015).

Pertumbuhan penerbangan nasional harus terus dipacu sehingga secara komprehensif mampu menghadapi ratifikasi ICAO mengenai “Open Sky” policy yang mendorong persaingan bebas dalam prinsip “Freedoms of the Air”.

Pengembangan sektor penerbangan berdasarkan prinsip “Demand and Supply” dapat digambarkan  mengikuti siklus sebagai berikut :

1optimisme-sektor-penerbangan-nasional02-00

Dari diagram tersebut dapat dipahami bahwa dalam sektor penerbangan nasional perlu adanya usaha pengembangan aspek Regulator, Bisnis, Industri Dirgantara dan Sumber Daya Manusia yang komprehensif, efektif dan optimal dalam menghadapi persaingan bebas nantinya.

Penguatan Regulator

Kondisi regulator yang berada dibawah kendali Kementerian Perhubungan pada saat ini masih banyak menghadapi kendala walaupun sudah sekitar 40 tahun  regulator Indonesia mendapat asistensi teknis dari ICAO dalam naungan program UNDP.

Dari berbagai kejadian yang terjadi pada penerbangan nasional, pada rentang 2007 – 2016 Indonesia mendapat kategori 2 safety audit FAA dan baru pada Agustus 2016 regulator Indonesia mendapatkan kategori 1 kembali. Sementara itu pada tahun 2016 ini berdasarkan laporan Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang diselenggarakan oleh ICAO bisa dilihat pada diagram di bawah ini.

1optimisme-sektor-penerbangan-nasional03-00

Dari hasil audit tersebut tampak jika masih ada beberapa aspek yang ditemukan berada di  bawah nilai rata-rata global. Aspek organisasi, lisensi, operasional dan investigasi kecelakaan ternyata masih sangat membutuhkan pengembangan yang mendesak. Dari segala permasalahan yang ada tersebut perlu dilakukan langkah-langkah yang komprehensif sehingga secara umum nantinya akan dicapai hasil yang mendekati atau melebihi dari nilai rata-rata global yang ada.

Pembenahan yang mendasar dari bentuk organisasi yang ada pada regulator saat ini sudah saatnya untuk dilakukan. Desain gugus tugas, fungsi dan tanggung jawab dari struktur organisasi yang sudah dibentuk idealnya adalah untuk saling mendukung, tidak berbenturan dan terintegrasi dalam satu sistem. Pemisahan yang jelas akan dapat mendukung tercapainya keseimbangan dan kesuksesan dalam mencapai misi yang diemban organisasi.

Permasalahan peningkatan kualitas sumber daya manusia pada regulator merupakan satu hal yang terindikasi sulit untuk dilakukan. Kultur organisasi yang masih mengedepankan dasar senioritas sudah selayaknya dirubah dengan mengedepankan dasar kompetensi. Dengan dasar kompetensi maka akan memberi ruang kompetisi yang berkeadilan dimana nantinya posisi strategis atau pengambil keputusan di dalam regulator akan terisi oleh orang-orang yang berkompeten.

Tata cara penerbitan lisensi juga tidak luput dari perhatian. Proses verifikasi lisensi masih menjadi kendala dan memerlukan suatu sistem lisensi yang terintegrasi. Regulator sebagai pihak pembuat regulasi, kebijakan dan penerbit lisensi idealnya mampu untuk melakukan pengawasan yang optimal kepada sistem yang telah ditetapkan. Sentralisasi atau monopoli kegiatan dimana regulator juga bertindak sebagai operator dan auditor harus dihindari sehingga keseimbangan kontrol dapat tercapai sesuai dengan prinsip Good Governance.

Penguatan basis data akan sangat membantu dalam melakukan fungsi kontrol yang baik. Regulator dipersyaratkan memiliki data yang akurat mengenai setiap lisensi yang diterbitkan. Pendataan ini akan sangat berperan dalam melakukan inventarisasi dan proyeksi kebutuhan sumber daya manusia yang tersedia untuk saat ini dan persiapan kedepannya. Dengan kemampuan melakukan proyeksi yang tepat maka potensi pengangguran sumber daya manusia yang tersedia dapat dihindari semaksimal mungkin.

Operasional regulator yang terkendala dengan minimnya jumlah inspektor yang tersedia. Inspektor sangat diperlukan dalam menjalankan fungsi kontrol yang baik. Banyak sekali para profesional penerbangan yang tidak berminat untuk turut serta dalam rekrutmen inspektor yang dilaksanakan regulator. Hal ini terjadi karena beberapa kendala seperti masalah jenjang karir, gugus tugas dan remunerasi yang kurang tepat.

Pembenahan sistem remunerasi yang disesuaikan dengan gugus tugas dan area operasional sudah selayaknya untuk dilakukan. Pemisahan sistem remunerasi inspektor sektor udara dengan sektor laut dan darat harus dilakukan secara proporsional. Remunerasi inspektor dilakukan sesuai dengan bidang yang ditangani. Akan menjadi timpang apabila remunerasi inspektor sektor udara berada jauh di bawah dari remunerasi profesional yang bekerja di perusahaan penerbangan atau maskapai, di sisi lain akan menjadi tidak adil apabila diberlakukan standar remunerasi yang sama bagi semua inspektor dari sektor yang berbeda.  Perlu diberlakukan kebijakan remunerasi yang tepat dan terukur sehingga meningkatnya peminatan para profesional untuk menjadi inspektor dan peningkatan kinerja yang optimum dapat terealisasi.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang dibentuk sesuai dengan amanat Keputusan Presiden Nomor 105 tahun 1999 sebagai suatu badan non departemen yang menanganani investigasi kecelakaan penerbangan selayaknya merupakan suatu lembaga yang independen terlepas dari departemen yang lain ataupun operator penerbangan. Penanganan investigasi kecelakaan penerbangan menjadi faktor yang penting karena banyaknya variabel yang terlibat dari setiap kecelakaan yang terjadi.

Pemisahan ketergantungan KNKT kepada Kementerian Perhubungan dalam hal pendanaan dan tanggung jawab selayaknya dilakukan untuk menjaga independensi dan menghilangkan konflik kepentingan. Penguatan organisasi KNKT secara sistematis diharapkan akan mampu menghasilkan hasil investigasi dan rekomendasi yang optimal dan berimbang yang pada muaranya akan turut meningkatkan keselamatan penerbangan di masa depan.

Langkah berikut yang juga penting untuk dilakukan dalam penguatan regulator adalah dengan pembentukan Mahkamah Penerbangan. Sebagai amanat dari UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, Mahkamah Penerbangan seperti yang sudah ada pada Mahkamah Pelayaran atau profesi spesifik lainnya sudah selayaknya untuk dibentuk. Profesi dalam penerbangan yang sangat spesifik dan beresiko tinggi memerlukan penanganan yang juga spesifik dalam keterkaitan permasalahan hukumnya.

Penting untuk disadari jika mayoritas profesi pada sektor penerbangan mewajibkan pengujian periodik untuk setiap personelnya. Pengujian periodik ini akan menentukan keberlangsungan profesi dan karir dari setiap personelnya. Keunikan profesi sektor penerbangan sangat berbeda dari profesi lainnya. Kompetensi yang melekat pada seorang personel penerbangan tidak melekat selamanya setelah dinyatakan lulus dari pendidikan, tetapi harus dijaga secara berkesinambungan melalui setiap tahapan pengujian periodik.

Pengembangan Bisnis Penerbangan

Perkembangan bisnis penerbangan nasional yang cukup menggembirakan saat ini sesungguhnya memiliki potensi pengembangan yang jauh lebih besar kedepannya. Pada kategori Negara berkembang, Indonesia masuk dalam kategori tercepat di asia bahkan di dunia. Jumlah pertumbuhan penumpang setiap tahunnya meningkat sebanyak 16 – 20%. Dengan optimisme ini tidak mengherankan jika para pakar penerbangan memperkirakan jika pada tahun 2021 jumlah penumpang pesawat terbang akan mencapai 180 juta penumpang seperti data berikut ini.

1optimisme-sektor-penerbangan-nasional05-00

Optimisme proyeksi jumlah penumpang moda transportasi udara akan sangat berpengaruh kepada iklim bisnis penerbangan itu sendiri. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 82,5 juta jumlah penumpang pesawat udara pada tahun 2015 yang notabene mendekati dengan nilai proyeksi yang ada pada diagram diatas.

Pada tahun 2015 terdapat 59 maskapai penerbangan niaga dengan 821 pesawat (Kementerian Perhubungan, 2016). Berdasarkan data dan proyeksi yang ada maka bisa diproyeksikan bahwa pada tahun 2021 akan dibutuhkan 1791 pesawat untuk mengakomodir 180 juta penumpang.

Potensi bisnis penerbangan yang sangat besar ini tentunya memerlukan penanganan yang serius dari regulator dan pelaku bisnis penerbangan. Penguatan regulator dalam melakukan fungsi kontrol yang tepat sangat dibutuhkan dalam menjaga iklim bisnis yang sehat dan berkualitas dan di sisi lain pengelolaan bisnis yang profesional sangat diperlukan dalam mengikuti perkembangan yang ada.

Pengelolaan bisnis yang baik selayaknya terfokus pada bisnis utamanya dalam sektor transportasi penerbangan. Kegiatan investasi merupakan kegiatan penting yang memerlukan biaya besar dan berdampak jangka panjang terhadap kelanjutan usaha (Giatman, 2006). Para pelaku bisnis seyogyanya meninggalkan pola lama bisnis keluarga atau ketergantungan kepada subsidi pemerintah dan melakukan pengelolaan bisnis secara profesional dan juga meninggalkan prinsip kartel untuk menguasai kegiatan usaha dari hulu hingga hilir.

Penerapan strategi sistem jaringan penerbangan “hub and spoke” atau “point to point”  dilakukan secara proporsional untuk menjamin kelancaran dan kelangsungan usaha penerbangan. Tidak perlu terpaku pada satu strategi operasional tetapi menggunakan kombinasi dari keduanya menghasilkan hasil produksi yang optimal.

Penerbangan perintis sebagai pendukung strategis program pemerataan pembangunan dan poros maritim dunia sudah selayaknya mendapat perhatian untuk dikembangkan. Dari keseluruhan operator penerbangan perintis yang ada sampai tahun 2014 ternyata baru mampu memenuhi kebutuhan penerbangan perintis sebesar 70% (PT. Angkasa Pura, 2014).

Percepatan pengembangan dan pembukaan rute-rute strategis perintis oleh pemerintah sudah sangat mendesak. Dengan percepatan ini maka roda perekonomian di daerah terpencil akan bergerak dan pembangunan akan terlaksana yang pada akhirnya proses komersialisasi rute perintis akan terjadi dan akan mengurangi beban pemerintah dalam pemberian insentif atau subsisi.

Untuk dapat mencapai target penerbangan perintis yang diharapkan maka perlu adanya deregulasi penerbangan perintis. Dampak deregulasi akan dapat meningkatkan kinerja dan penyerapan tenaga kerja lokal. Apabila sampai saat ini pekerja profesional penerbangan perintis masih terisi oleh tenaga kerja asing maka sudah waktunya untuk mempersiapkan peralihan untuk diisi oleh tenaga kerja profesional lokal yang notabene adalah putera daerah dan anak bangsa negeri ini.

Pengembangan Industri Dirgantara

Perkembangan bisnis penerbangan akan membutuhkan adanya industri digantara yang memadai. Industri dirgantara meliputi  Fasilitas Perawatan (MRO) dan industri manufaktur. Industri dirgantara berperan dalam mendukung kesinambungan dan perkembangan bisnis penerbangan.

Setiap pengadaan satu pesawat terbang akan membuka peluang bisnis perawatan dan pemeliharaan sebesar 6-10 kali lipat dari harga pesawat itu sendiri. Peluang bisnis perawatan pesawat ini yang harus kita ambil dengan menyiapkan industri MRO yang memadai (B.J. Habibie, 2016).

Industri MRO akan berkembang seiring dengan perkembangan bisnis penerbangan. Pada tahun 2015, dari total 65 industri MRO domestik hanya mampu melayani sekitar 30% (3,63 trilyun rupiah) dari kebutuhan penerbangan domestik yang bernilai total sekitar 12,1 trilyun rupiah (AMROI, 2016). Kondisi ini mengindikasikan bila 70% perawatan pesawat yang beroperasi di Indonesia masih dilakukan di luar negeri. Sangat disayangkan jika potensi yang besar ini tidak dikelola dengan baik.

Kurangnya fasilitas MRO saat ini perlu disiasati dengan pembangunan fasilitas MRO baru dengan memperhatikan penyebaran yang sesuai dengan postur kebutuhan yang ada. Disamping itu, strategi penjadwalan dan rotasi operasional akan sangat menentukan bagi peningkatan dan pemanfaatan kapasitas yang tersediia.

Langkah pemerintah dengan Paket Kebijakan Ekonomi ke-8 saat ini sudah tepat dengan memberlakukan bea masuk 21 pos tarif komponen pesawat udara menjadi nol persen. Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing MRO domestik untuk dapat bersaing dengan MRO luar negeri.

Peningkatan kuantitas dan kualitas personel MRO memerlukan penanganan yang serius. Diperkirakan, Indonesia akan membutuhkan sebanyak 12-15 ribu tenaga ahli industri MRO hingga 15 tahun ke depan (Kemenperin, 2016). Pengembangan fasilitas pendidikan dan pelatihan yang memadai dan memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan diharapkan dapat menjawab tantangan yang ada. Kerjasama strategis dengan beberapa pihak terkait pendidikan dan pelatihan personel  MRO mutlak untuk dilakukan sehingga akselerasi yang dibutuhkan bisa tercapai.

Pengembangan industri MRO akan mendukung kemajuan dari industri manufaktur pesawat udara. Kemajuan industri manufaktur akan menjadi katalis dalam mencapai kemandirian penerbangan dengan melepaskan ketergantungan dari produk buatan luar negeri.

Dengan skala kebutuhan akan transportasi udara yang terus berkembang maka akan menjadi prestasi tersendiri apabila semua kebutuhan tersebut bisa dipenuhi dengan produksi lokal. Dari keseluruhan pesawat udara yang ada saat ini, mayoritas merupakan produk asing, seperti Boeing, Airbus, Embraer, ATR, Cessna dan lainnya. Sementara industri manufaktur domestik yang ada pada saat ini, yaitu PT. Dirgantara Indonesia dan PT. Regio Aviasi Industri masih belum mampu berbuat banyak dalam mengisi kebutuhan pesawat udara domestik.

Penanganan industri manufaktur memerlukan kebijakan pendukung yang tepat dari pemerintah. Proyeksi kebutuhan pesawat jenis propeler yang diperlukan sebagai penghubung nusantara tidaklah sedikit mengingat masih ada 30% kebutuhan penerbangan perintis yang masih belum terisi.

Kawasan terpadu industri dirgantara yang terintegrasi akan menjadi kepentingan bersama berbagai pihak dalam  membangunnya. Kawasan terpadu memiliki berbagai fasilitas yang diperlukan dalam pengembangan industri dirgantara, seperti industri manufaktur pesawat udara, industri komponen pesawat udara, industri MRO, industri jasa penerbangan dan Industri pendukung lainnya, termasuk perguruan tinggi sebagai tempat pengembangan personel kedirgantaraan.

Pengembangan Sumber Daya Manusia Penerbangan

Sumber Daya Manusia (SDM) Penerbangan memegang peranan penting dari segala aspek yang ada di dalam penerbangan. Kuantitas dan kualitas SDM sudah sewajarnya dikembangkan secara selaras terlepas dari dikotomi kuantitas atau kualitas.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan pada tahun 2014 terdapat 32.500 SDM Penerbangan untuk mengisi kebutuhan sektor penerbangan. Untuk menjawab kebutuhan sektor penerbangan 5 tahun ke depan akan dibutuhkan sekitar 50.000 SDM penerbangan. Proyeksi pengembangan bisnis penerbangan akan sangat membutuhkan jumlah SDM yang memadai dan kompeten.

1optimisme-sektor-penerbangan-nasional08-00

Dalam memenuhi kebutuhan SDM penerbangan memerlukan perhitungan yang tepat agar sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dan menghindari potensi pengangguran. Hal ini dikarenakan sektor penerbangan memerlukan tingkat kompetensi dan kualifikasi yang sangat spesifik. Pembukaan lembaga pendidikan dan pelatihan yang baru selayaknya dilakukan dengan koordinasi pemerintah sehingga kuantitas dan kualitas yang dihasilkan menjadi terukur.

Fungsi kontrol yang dimulai dari proses rekrutmen merupakan faktor penting dalam pengembangan SDM penerbangan. Rekrutmen dilakukan secara terbuka dan berkeadilan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang dipersyaratkan. Faktor kedekatan, kemampuan pembiayaan atau “Faktor X” lainnya sewajarnya menjadi pertimbangan terakhir dalam menentukan kelulusan seleksi. Hal ini dilakukan untuk terjaganya mutu SDM sejak dini dan terbukanya kesempatan bagi peserta yang memang sangat berpotensi mengembangkan kompetensinya.

Kualifikasi akademis SDM penerbangan perlu mendapat perhatian untuk diakreditasikan dengan tingkat akademis lainnya. Hal ini akan memicu peningkatan mutu pendidikan secara akademis dan tidak hanya berfokus pada ilmu terapan saja. Sektor penerbangan kedepannya tidak hanya membutuhkan praktisi penerbangan saja, akan tetapi memerlukan praktisi dan akademisi penerbangan sekaligus.

Manajemen mutu dari lulusan lembaga pendidikan penerbangan akan menjadi penentu dari keberhasilan pengembangan SDM penerbangan. Kemampuan menghasilkan lulusan dengan kualitas yang baik akan melahirkan banyaknya tenaga ahli yang siap berkompetisi dalam lingkup lokal maupun global. Sehingga, masa depan SDM penerbangan Indonesia nantinya akan menjadi “ key and role player” secara global dan mendunia.

Jenjang karir dan remunerasi SDM penerbangan diformulasikan sesuai dengan kompetensi yang proporsional. Remunerasi yang terukur merupakan suatu bentuk penghargaan bagi setiap tenaga ahli dan dapat menjamin keberlangsungan pendayagunaan dari setiap tenaga ahli tersebut. Kemudian, dengan adanya standar kompetensi yang tepat sasaran diharapkan semua lini dalam sektor penerbangan akan terisi oleh personel yang tepat, kompeten dan berkualitas.

Penutup

Kondisi geografis Indonesia memiliki banyak potensi bagi sektor penerbangan untuk dikembangkan secara terorganisir dan terarah. Konsep Poros Maritim Dunia yang dicanangkan pemerintah saat ini seharusnya bisa dijadikan momentum untuk dimulainya langkah besar dan pencanangan “Quick Win” pada sektor penerbangan, dikarenakan sektor penerbangan menjadi pendukung vital pada konsep tersebut.

Ruang udara dengan batas yang sangat besar sesungguhnya menyimpan potensi ekonomi yang tinggi nilainya. Pengelolaan sumber daya di darat, laut dan udara secara terintegrasi akan mampu mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan.

Pengembangan segala aspek dalam penerbangan memerlukan peran aktif regulator. Regulator yang akuntabel dan kredibel akan mampu membawa sektor penerbangan ke arah yang diharapkan. Penguatan regulator menjadi kunci utama dari berjalannya seluruh sistem yang bergerak dalam penerbangan.

Selain penguatan regulator, maka pengembangan aspek bisnis, industri dan SDM menjadi perhatian untuk pengembangan. Investasi dan pengelolaan yang profesional idealnya dilakukan secara mandiri. Dengan pengembangan tersebut diharapkan potensi yang tersimpan dalam sektor penerbangan dapat dioptimalkan.

Pengelolaan yang terukur dan terencana pada aspek Regulator, Bisnis, Industri dan SDM bukan tidak mungkin jika kemandirian Indonesia pada sektor penerbangan dapat tercapai dalam waktu yang relatif singkat. Jika semua tertangani dengan baik dan benar, bukan tidak mungkin sektor penerbangan Indonesia akan menjadi sesuatu yang “Beyond Expectation”.

 

Salam Penerbangan.

Capt. Heri Martanto, BAv.

Indonesia Sedang Krisis Pilot, Benarkah?

Indonesia Sedang Krisis Pilot, Benarkah?

Kondisi bisnis penerbangan Indonesia tahun 2016 seyogyanya sudah cukup menggembirakan. Margin keuntungan global sektor penerbangan diperkirakan meningkat menjadi rata – rata 5,1% Pada tahun 2016 menurut International Air Transport Association (IATA). Perkembangan bisnis yang baik ini tidak terlepas dari perkembangan pasar dan dukungan beberapa variable dalam penerbangan yang salah satunya adalah sub sektor Sumber Daya Manusia Penerbangan.

Bagaimana dengan SDM pilot saat ini? Apakah kuantitas pilot lokal kita sudah mencukupi. Agak sulit untuk menjawabnya, tetapi menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi seperti dilansir media detik pada 8 September 2016 “Dikatakan kurang ya kurang. Dikatakan lebih ya lebih. Oleh karena itu saya sampaikan mengapa itu terjadi karena dibutuhkan jumlah pilot yang terverifikasi”.

Apakah jumlah pilot kelebihan? Dalam kenyataannya saat ini jumlah pilot lokal sudah surplus dengan indikasi adanya 700 – 800 pilot lokal abinitio (pemula) yang belum tertampung di berbagai operator penerbangan alias menganggur.

Apakah jumlah pilot juga kurang? Dengan asumsi bahwa tahun 2017 diproyeksikan akan terjadi penambahan pesawat sebanyak 70 pesawat dengan komposisi 1 pesawat : 5 set pilot (10 pilot) maka akan didapatkan jumlah kebutuhan penambahan pilot untuk tahun 2017 sebanyak 70 X 10 = 700 pilot. Jika saja asumsi itu benar maka seharusnya saat ini tidak terjadi pengangguran pilot karena semestinya sudah dilakukan rekrutmen pada tahun 2016 untuk mulai aktif pada tahun 2017. Tetapi ternyata masalah lebih atau kurang dalam profesi pilot tidak semudah dan sematematis itu dalam menjabarkannya.

Secara perhitungan tidak semua jenis pesawat memerlukan komposisi 1:5 seperti asumsi di atas. Jika saja proyeksi penambahan pesawat tersebut terdiri dari berbagai varian baik jenis propeller atau jet dengan perbandingan yang berimbang, maka akan didapat variasi komposisi dari 1:3 – 1:5, sehingga median yang diambil pada rata – rata 1:4 (8 pilot). Kemudian dengan asumsi akan terjadi pengurangan jumlah pilot karena faktor usia (pensiun) dan faktor lainnya sebanyak 40 pilot per tahunnya, maka untuk tahun 2017 proyeksi kebutuhan penambahan pilot menjadi (70 X 8) + 40 = 600 pilot.

Pada saat ini saja diperkirakan telah beroperasi sekitar 1100 pesawat (per 2013 sekitar 846) dengan berbagai jenis dan sejumlah pilot lokal aktif pada kisaran 9000 pilot (per 2014 sekitar 8687). Dari jumlah pesawat tersebut dengan komposisi median 1:4 set, maka akan terhitung 1100 X 8 = 8800 pilot yang dibutuhkan untuk mengoperasikan pesawat pada saat ini. Jika pada tahun 2016 terdapat sekitar 600 pilot asing yang tersebar di berbagai operator maka potensi pengangguran pilot lokal akan menjadi 9000 – (8800 – 600) = 800 pilot. Angka ini cukup masuk akal bila melihat kondisi yang terjadi pada saat ini dan akan dibawa kemana sejumlah 800 pilot ini? Apabila sejumlah 600 pilot asing ini dialihkan alokasinya untuk pilot lokal maka akan cukup besar kontribusinya dalam mengurangi angka pengangguran pilot pada saat ini.

whatsapp-image-2016-09-09-at-01-08-02

whatsapp-image-2016-09-09-at-01-08-22

 

Informasi mengenai jumlah kebutuhan pilot melalui berbagai media akhir – akhir ini entah disengaja atau tidak disengaja sebenarnya telah menjadi distorsi informasi yang signifikan. Distorsi informasi tersebut secara langsung berpotensi sangat merugikan bagi eksistensi dari profesi pilot. Tentu saja, baik untuk disadari bahwa distorsi informasi ini harus segera dihentikan karena akan berdampak pada ketidakseimbangan “Demand” dan “Supply”.  Ketidakseimbangan ini terutama “Over Supply” akan sangat buruk dampaknya karena hanya akan menguntungkan lembaga pendidikan penerbangan dari keuntungan yang didapat dari biaya pendidikan dan menguntungkan operator karena akan mendapatkan tenaga kerja pilot yang murah atau tanpa biaya investasi SDM dengan persyaratan atau perjanjian kerja yang dibuat tidak seimbang dengan alasan paradigma “jangan membeli kucing dalam karung”. Mengatasi permasalahan akan kebutuhan pilot tidak bisa hanya dengan perhitungan matematis saja, tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan kebijakan dan ketegasan dari regulator atau pemerintah.

Untuk menjadi pilot bukanlah sesuatu hal yang terlalu sulit apabila disertai dengan semangat hanya untuk mendapatkan lisensi saja. Yang lebih sulit dan tersulit adalah menjawab tuntutan untuk menjadi pilot profesional. Pilot tidak hanya berkutat dengan aspek motorik saja yang biasa disebut “Stick and Rudder”, akan tetapi meliputi multi aspek diantaranya aspek kognitif, motorik, psikologis, jasmani dan analisis. Kualitas pilot harus tetap dijaga pada posisi tertingginya dalam menjamin tingkat keselamatan penerbangan yang diharapkan, demikian juga kualitas dari lulusan pilot abinitio (pemula). Dalam menjaga kualitas ini, pihak regulator tidak bisa hanya dengan menghimbau lembaga pendidikan penerbangan untuk meningkatkan kualitas dan daya saingnya saja, tetapi perlu untuk melakukan penetapan kebijakan ataupun regulasi dan mengawasi pelaksanaan regulasi secara benar dan tegas.

Penataan jenjang karir bagi profesi pilot secara nasional sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan. Penataan ini dimaksudkan bukan untuk menjegal ataupun menyulitkan pofesi pilot tetapi jauh ke depan akan sangat membantu verifikasi yang dilakukan regulator dalam melakukan fungsi kontrol terhadap SDM penerbangan ini. Tentu kita semua menginginkan adanya satu sistem karir yang tertata sejak dari rekrutmen sampai dengan pensiun. Terutama Negara kita yang merupakan Negara kepulauan yang tersebar dari sabang sampai merauke, selain pilot yang aktif di maskapai besar, diperlukan pula banyak pilot untuk aktif di maskapai komuter atau perintis sehingga moda transportasi udara ini benar – benar dapat mendukung terlaksananya pemerataan dan penyebaran pembangunan sampai ke daerah pelosok tanah air. Menerbangkan pesawat besar atau pesawat jet bukanlah suatu keharusan atau kebanggaan bagi profesi pilot, tetapi lebih merupakan faktor kemampuan dan kesempatan saja. Kebanggaan terbesar bagi seorang pilot adalah jika tetap selamat dalam catatan karirnya sampai di usia pensiun. Di sisi lain pun kesejahteraan atau remunerasi yang ada harus disesuaikan agar tidak terjadi ketimpangan yang ekstrem antara pilot maskapai dan pilot perintis. Di beberapa Negara telah dilakukan penataan karir seperti ini dimana regulator berperan aktif dalam menetapkannya, seperti contoh yang ada pada diagram dibawah yang berlaku di Selandia Baru.

 

whatsapp-image-2016-09-08-at-23-19-02

 

Selain jenjang karir konvensional tersebut di atas ada juga alternatif mengenai jenjang karir untuk menjadi pilot maskapai yaitu dengan pengaplikasian skema Multi-crew Pilot License (MPL) yang sudah dicanangkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dalam Annex 1 sejak tahun 2006. MPL merupakan suatu pengembangan yang signifikan berdasarkan pendekatan kompetensi dalam pelatihan pilot professional. Aplikasi dari skema MPL ini memerlukan kerjasama yang baik antara Operator, Lembaga Pelatihan Penerbangan dan Regulator sehingga keluaran dari program ini benar – benar memiliki kualitas yang baik dan bermutu tinggi dari segi kompetensi. Tetapi tentu saja untuk mengaplikasikan skema ini membutuhkan kesungguhan dari Regulator dan waktu yang masih cukup panjang.

 

whatsapp-image-2016-09-09-at-04-08-51

 

Usia produktifitas profesi pilot perlu untuk dikaji ulang untuk lancarnya proses produksi dan regenerasi pilot di masa depan. Setiap Negara memiliki aturan yang berbeda mengenai batas usia pensiun bagi seorang penerbang, mulai dari usia 60 tahun sampai dengan usia 70 tahun. Tidak ada salahnya jika dilakukan studi kembali mengenai batasan ini sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang termutakhir saat ini. Apakah batasan usia 65 tahun masih relevan atau tidak masih perlu untuk dirumuskan bersama dengan mempertimbangkan kondisi saat ini dan proyeksi masa depan.

Proyeksi bisnis dan kegiatan ekspansi dari operator sudah sewajarnya juga berada dalam koordinasi dan kontrol regulator. Perizinan yang diberikan jangan hanya dilihat dari prospek keuntungan yang didapat saja tetapi harus diawasi sejak dari proses persiapannya. Bagaimana operator akan berekspansi jika SDM yang ada belum memadai? Disinilah peran regulator sangat penting dalam memutuskan yang terbaik bagi kepentingan banyak pihak. Dengan dilakukan kontrol yang baik maka regulator akan mampu secara tepat melakukan penghitungan dan proyeksi akan kebutuhan SDM dan operasional sektor penerbangan secara integral.

Penanganan mengenai pilot asing pun tidak luput untuk dilakukannya pembatasan yang jelas. Memang tidak ada sama sekali peraturan yang mengatur komposisi antara pilot lokal dan pilot asing di Negara ini, akan tetapi UU yang menyangkut hal itu tetap harus ditegakkan. Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan mengenai penggunaan tenaga kerja asing harus diimplementasikan. Masa penggunaan tenaga kerja asing tidak boleh lebih dari 2 tahun per orangnya. Hal yang tidak kalah penting adalah mengenai aspek keamanan Negara. Apakah “Security Clearance” terhadap pilot asing sudah dilakukan secara benar selama ini? Konsekuensi dari pekerjaan pilot adalah menjelajah ke berbagai daerah hingga daerah terpencil sekalipun. Dengan konsekuensi tersebut tidak tertutup kemungkinan terjadi pencurian informasi atau kegiatan spionase yang dilakukan. Akan menjadi suatu kekawatiran apabila hingga saat ini masih banyak terdapat pilot asing yang dipekerjakan untuk penerbangan nasional dan akan memalukan bagi Negara apabila masih didapati pilot asing yang bersedia terbang pada penerbangan perintis tanpa dibayar yang terkesan hal ini adalah suatu bentuk perbudakan terselubung. Kemudian bagaimana dari sisi profesinya? Harus dilakukan pembatasan bahwa minimum tenaga kerja asing pilot harus memiliki lisensi Airline Transport Pilot License (ATPL). Hal ini untuk memastikan bahwa tenaga kerja asing yang digunakan memang sudah memiliki jam terbang yang cukup sehingga layak untuk mengisi kekosongan untuk sementara waktu dan di sisi lain akan membuka kesempatan yang luas bagi generasi pilot muda lokal untuk mencapai lisensi tingkat ATPL.

Penanganan permasalahan kebutuhan pilot ini sudah semestinya dilakukan oleh regulator atau pemerintah. Akan membahayakan bila mekanisme yang ada dilepaskan melalui mekanisme pasar secara bebas tanpa adanya fungsi kontrol yang tegas dari pemerintah. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa SDM penerbangan ini menyangkut kepada manusia yang memiliki hak asasi dan bukanlah manusia yang harus diperlakukan layaknya obyek bisnis dan sebagai alat produksi.

Apalagi yang kita tunggu untuk merubah semua ini? Banyak hal yang bisa kita lakukan mulai dari sekarang dalam membangun penerbangan nasional. Berikan dukungan kepada regulator untuk berbenah, meningkatkan kemampuannya dan berani untuk tegas karena runutan dari masalah yang membesar saat ini adalah hasil dari kelengahan dan kekurangan regulator negeri ini di waktu sebelumnya.

 

Salam Penerbangan,

Capt. Heri Martanto, BAv.

Merdeka Bangsaku, Jayalah Penerbangan Indonesia

Merdeka Bangsaku, Jayalah Penerbangan Indonesia


Menjelang 71 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah satu perjalanan sejarah yang mudah dan bebas lika – liku. Tantangan dan ujian datang silih berganti dan harus dilewati oleh bangsa Indonesia, demikian pula tak terkecuali dalam bidang penerbangan.

Penerbangan Indonesia telah dibuka lembaran sejarahnya dengan kehadiran pesawat DC-3 “RI-001 Seulawah” yang merupakan hibah dari segenap rakyat Aceh dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pesawat inipun menjadi bagian bersejarah dalam kelahiran Garuda Indonesia pada tahun 1949 sebagai airline pertama di Indonesia. Pesawat kebanggaan bangsa Indonesia pada masa itu telah menjadi satu parameter bagaimana potensi kekuatan bangsa yang baru lahir ini ternyata sudah sedemikian tingginya.
Pada tahun 1954 Indonesia berhasil membuka Akademi Penerbangan Indonesia (API) yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi penerbangan Indonesia (STPI). Etalase pendidikan penerbangan Indonesia ini pada era 1960-an tidak hanya dikenal secara domestik saja, tetapi secara internasional. Beberapa Negara Asia tidak ketinggalan mengirimkan beberapa siswa calon penerbangnya untuk mengenyam pendidikan di sekolah penerbangan ini.

Kemudian pada 1976 terbentuk Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang sekarang menjadi Dirgantara Indonesia (DI) sebagai industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Industri pesawat karya anak bangsa ini merupakan suatu kebanggaan nasional dalam kiprah kemajuan riset dan teknologi kedirgantaraan.

Telah banyak pencapaian bangsa ini dalam bidang kedirgantaraan, lalu kemudian tantangan ke depanpun tidak kalah beratnya. Negara kita saat ini masih berbenah dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) dimana tuntutan akan kualifikasi dan standar sumber daya manusia (SDM) kita harus siap bersaing dengan SDM asing. Selain masalah SDM, persaingan ekonomi global ini harus mampu dijawab dengan perkembangan pelaku bisnis penerbangan kita agar setara dengan kemampuan pebisnis asing. Selain MEA kita juga berkutat dalam hal teritorial mengenai batas pengaturan wilayah udara (FIR) yang saat ini beberapa masih berada dalam kontrol Negara Singapura. Belum lagi dengan pencapaian pada bulan Agustus ini sebagai Kategori 1 FAA dalam tingkat keselamatan penerbangan yang akan berdampak pada tantangan ke depan untuk mempertahankannya.

Meningkatnya jumlah pilot asing telah menyebabkan kekawatiran internal pilot Indonesia. Perlu diambil langkah perlindungan oleh pemerintah atas hal ini karena bukan permasalahan kualifikasi yang menjadi sentral masalah melainkan permasalahan ekonomis. Jangan hanya karena faktor ekonomis semata akan mengorbankan potensi anak bangsa ini untuk menjadi pemain utama secara domestik maupun global.

Dalam hal batas pengaturan wilayah udara (FIR) perlu untuk dicermati juga karena hal ini akan menjadi pemicu pengembangan potensi akan kemampuan dalam melakukan kontrol batas wilayah dan pengembangan teknologi kedepannya. Kemampuan melakukan kontrol ini akan menjadi parameter kemandirian kita dalam menjaga dan mengedepankan kedaulatan bangsa.

Tidak ketinggalan pula dari sisi bisnis penerbangan yang dituntut untuk dapat dikelola secara profesional, berimbang dan sesuai asas kepatutan. Pelaku bisnis tidak bisa hanya memikirkan keuntungan dalam jangka pendek semata, tetapi harus didorong untuk dapat berkiprah dalam pengembangan bangsa kedepannya. Regulasi ataupun deregulasi akan sangat diperlukan dalam menjaga keseimbangan yang berkesinambungan. Segala permasalahan internal dan eksternal dalam penerbangan haruslah dievaluasi agar tidak terjadi kesalahan yang berulang kedepannya.

Sedemikian banyaknya masalah dan tantangan ke depan ini tidak bisa kita jawab dengan hanya berpangku tangan saja. Peran aktif pelaku dunia kedirgantaraan sangat diperlukan dalam mengatasi segala rintangan yang ada.

Gagasan pemerintah pada era saat ini sebagai poros maritim dunia sebenarnya patut ditelaah lebih dalam. Poros maritim tidak hanya berkutat dengan hal kelautan atau maritim saja, tetapi dukungan penerbanganpun tetap dibutuhkan. Penerbangan akan sangat berperan dalam menghubungkan logistik ke area terpencil atau terisolir yang tentu tidak bisa dijangkau oleh moda transportasi lainnya. Integrasi antara konsep poros maritim dan penerbangan tidak dapat dipisahkan karena dengan satu sistem yang integral akan diperoleh pemerataan ekonomi dan pembangunan yang lebih cepat dan terencana.

Masih akan panjang dan berliku langkah yang harus ditempuh sektor penerbangan Indonesia. Tuntutan dan tantangan yang ada akan mampu terjawab dengan semangat kebersamaan dan nasionalisme yang harus tetap dipupuk dalam menuju kejayaan penerbangan Indonesia.

Salam Penerbangan,

Capt. Heri Martanto, BAv.

Permasalahan Perjanjian Kerja Pilot

Perkembangan industri penerbangan saat ini menuntut tingginya akan ketersediaan pilot dalam mendukung kegiatan operasional operator penerbangan.  Dengan adanya kebutuhan akan pilot ini telah menyebabkan pula tumbuh dan menjamurnya banyak lembaga pendidikan penerbangan untuk menyediakan sumber daya yang dipersyaratkan.

Berdasarkan pemberitaan yang ada selalu dikabarkan jika kebutuhan pilot Indonesia antara 600 – 700 pilot setiap tahunnya, padahal pada tahun 2016 ini saja terjadi potensi pengangguran pilot baru yang mencapai 500 pilot. Terjadi suatu kontradiksi antara tingkat kebutuhan dan penyerapan tenaga kerja yang tersedia. Kondisi ini lambat laun akan menghambat proses regenerasi pilot dalam skala nasional.

Profesi pilot yang menuntut tingkat keselamatan yang tinggi, kinerja tinggi dan spesifik ini memang menyebabkan banyak operator harus melakukan langkah dalam menjaga jumlah pilot yang mencukupi di dalam perusahaannya. Untuk menjaga hal tersebut akan menjadi wajar jika perusahaan memposisikan pilot dalam tataran strategis dan sebagai aset perusahaan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Di samping itu perusahaan juga harus memikirkan proses regenerasi pilot yang ada di perusahaannya agar kesinambungan usaha dapat terjaga.

Untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja pilot di perusahaan maka perusahaan perlu membuat suatu perjanjian kerja tersendiri untuk profesi pilot. Perjanjian kerja ini semestinya harus sesuai dengan perundangan dan peraturan yang berlaku. Perundangan mengenai ketenagakerjaan sebenarnya sudah tertuang pada Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan mengacu kepada perundangan tersebut ditemukan beberapa kejanggalan atau pelanggaran yang menjadi masalah dalam perjanjian kerja profesi pilot pada saat ini.

 

  1. Perjanjian kerja waktu tertentu yang berlaku antara 5 – 18 tahun dengan kosekuensi perdata yang mencapai nilai yang cukup fantastis.
    UU No. 13/2003 pasal 59.
  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
  2. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  3. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  4. pekerjaan yang bersifat musiman;
  5. atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
  6. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
  7. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
  8. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  9. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
  10. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
  11. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
  12. Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
    Pasal 59 mensyaratkan jika profesi pilot tidak dapat dikategorikan sebagai pekerjaan yang sementara karena merupakan jenis pekerjaan yang berkelanjutan dan merupakan inti dari usaha penerbangan. Tidak pada tempatnya jika pilot diberikan kontrak kerja dari 5 – 18 tahun karena jelas melanggar UU ini, dan kalaupun kurang dari angka tersebut tetap saja harus menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau pekerja tetap di perusahaan dengan mengacu pada ayat 7 pasal ini.
  1. Kesempatan pelatihan dan pengembangan kompetensi yang tidak berkeadilan.
    Pasal 10:
  1. Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
  2. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.
  3. Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
  4. Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
    Pasal 11 :
    Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
    Pasal 12 :
  1. Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
  2. Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.
  3. Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
    Masih banyak terjadi diskriminasi pada profesi ini pada kesempatan pengembangan kompetensi dikarenakan aspek senioritas semata atau faktor subyektif. Pilot yang relatif junior diberikan beberapa persyaratan yang cukup memberatkan dibanding pilot yang lebih senior atau bisa terjadi karena faktor subyektif lainnya. Padahal profesi pilot menuntut kompetensi dan kemampuan yang baik terlepas dari kriteria masa kerja atau usia dan harus diberikan dengan seobyektif mungkin.
    Pemerataan kesempatan mutlak diperlukan sehingga kinerja perusahaan yang optimal bisa tercapai. Tidak hanya kinerja perorangan yang dirugikan, tetapi juga kinerja perusahaan turut dirugikan jika pemerataan kesempatan tidak dilaksanakan.
  1. Permasalahan tenaga kerja pilot asing.
    Pasal 42 :
  1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
  2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
  3. Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
  4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
  5. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
  6. Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
    Tenaga kerja asing diperkenankan untuk dipergunakan oleh perusahaan dengan memperhatikan syarat yang ada pada pasal 42. Perjanjian kerja yang berlaku untuk pekerja asing hanya berlaku untuk 1 periode dan tidak dapat diperpanjang.
    Penggunaan pilot asing idealnya hanya dilakukan dalam menjembatani kebutuhan pilot yang belum bisa diisi oleh pilot lokal. Ini merupakan suatu perlindungan terhadap pilot lokal dari kemungkinan membanjirnya pilot asing. Kesempatan kerja yang luas dan adil akan membantu dalam proses regenerasi pilot yang juga penting bagi masa depan profesi pilot di Indonesia.
    Rekrutmen pilot pemula (abinitio) yang dilakukan harus juga berimbang, perlu ada kebijakan yang lebih memihak kepada pilot lokal. Aspek ekonomis dengan memudahkan pilot asing dikarenakan kesediaan mereka membayarkan biaya pelatihan secara mandiri harus dikesampingkan karena pilot asing bukan merupakan aset perusahaan dalam jangka panjang.

Permasalahan perjanjian kerja pilot ini perlu ditangani secara arif dan bijaksana oleh semua pihak yang berkepentingan. Bentuk perjanjian kerja sudah sewajarnya diformulasikan secara standar dan tidak bertentangan dengan undang- undang dan peraturan yang berlaku. Harus dicapai adanya keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan pekerja itu sendiri. Perlu disadari bahwa pilot adalah aset dan bukan alat produksi.

Proses regenerasi pilot di masa depan perlu dipersiapkan dan dilakukan sejak awal. Perlu dilakukan perhitungan yang tepat dalam skala nasional untuk menjaga kesinambungan proses regenerasi pilot. Pemberian informasi akan kebutuhan pilot pun harus dilakukan secara berimbang sehingga potensi pengangguran pilot tidak terjadi kembali di masa depan.

Salam Penerbangan.

Fenomena Mogok Kerja Pilot

Fenomena Mogok Kerja Pilot

 

Fenomena mogok kerja pada dunia penerbangan nasional kembali terjadi lagi pada tanggal 10 Mei 2016. Sekitar ratusan pilot salah satu maskapai penerbangan nasional melakukan aksi ini dan menyebabkan belasan penerbangan mengalami keterlambatan pada beberapa tempat.

Cukup menarik untuk mendalami alasan dari aksi mogok ini masih sampai terjadi pada profesi pilot. Pada dasarnya banyak hal yang menjadi faktor penyebab dari aksi mogok. Akan tetapi mengingat profesi pilot yang sebenarnya sangat spesifik dan langka maka sedikit aksi saja akan menghasilkan dampak yang besar. Menurut pemberitaan yang kami peroleh melalui media online Kompas (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/10/11373161/Ratusan.Pilot.Lion.Air.Mogok.Terbang.karena.Uang.Transpor.Tak.Dibayar) aksi ini terjadi karena permasalahan uang transport yang tidak kunjung dibayarkan oleh pihak manajemen.

Mogok kerja merupakan suatu hak dasar yang dimiliki pekerja sebagai akibat dari kebuntuan dalam perundingan dimana masing – masing pihak menyatakan deadlock (dengan kata lain “sepakat untuk tidak sepakat”) dan dicatatkan didalam risalah perundingan atau pengusaha menolak berunding padahal sudah diberikan ajakan oleh serikat pekerja sebanyak 2 kali dalam tenggang waktu 14 hari.

Definisi mogok kerja berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat/pekerja buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Mogok kerja yang dibenarkan dalam UU Ketenagakerjaan adalah mogok yang dilakukan secara sah, tertib dan damai serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Dalam waktu sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

Walaupun memang kegiatan ini dilindungi oleh Undang – Undang tetapi tidak ada salahnya sebagai seorang profesional juga memahami risalah mogok kerja ini. Langkah mogok kerja seyogyanya menjadi langkah terakhir apabila memang segala upaya dalam mencapai kesepakatan telah gagal. Aksi ini bukanlah sebagai ajang “adu kekuatan” antara pekerja dan pengusaha karena pasti semua pihak akan memiliki kekuatan dan kekurangan masing – masing.

Kondisi penerbangan saat ini menyangkut ketenagakerjaan untuk profesi pilot memang masih banyak kekurangan. Bentuk perjanjian kerja yang tidak berimbang dan dukungan regulasi kepada perlindungan profesi pilot menjadi faktor penyebab yang menjadikan pilot pada posisi yang dilemahkan. Pelanggaran yang terjadi terhadap UU dan Regulasi karena misinterpretasi ataupun kesengajaan terselubung terus terjadi baik itu dengan atau tanpa disetujui oleh pihak otoritas.

Semua aspek menyangkut ketenagakerjaan ini mesti dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan. Akan menjadi elok apabila terjadi keseimbangan, jika pilot dinilai sebagai aset dan bukan alat produksi sehingga akan melakukan pekerjaannya secara profesional maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang optimal pula. Tetapi perusahaan akan mengalami kerugian besar apabila tidak memberikan hak yang semestinya kepada pilotnya apabila sampai aksi mogok terjadi.

Sudah selayaknya para profesional memahami akan aksi mogok ini. Melakukan aksi inipun harus sesuai dengan UU dan tata cara yang berlaku, perlu dilakukan langkah persiapan, antisipasi dan perundingan. Jangan gegabah dalam memutuskan aksi mogok karena faktor emosional. Demikian sebaliknya perusahaan pun harus berimbang dalam memenuhi hak dari pekerjanya. Aksi mogok kerja akan berdampak kerugian yang sangat besar kepada semua pihak: Pekerja, Perusahaan dan Pengguna Jasa.

Salam Penerbangan.

Mengenal IFALPA Lebih Dekat

 

New GVP logo V5

IFALPA (International Federation of Air Line Pilot’s Associations) merupakan suatu federasi bagi asosiasi pilot dalam lingkup internasional. Organisasi ini telah lahir sejak April 1948 pada konferensi di asosiasi pilot di London, Inggris dan banyak berkutat dalam menangani berbagai permasalahan penerbangan secara internasional. Dalam kegiatannya IFALPA banyak berinteraksi dengan ICAO sebagai badan spesialis penerbangan dari PBB. Untuk lebih detilnya, mungkin ekstrak dari laman http://ifalpa.org ini bisa mempersingkat pengenalan kita.

 

IFALPA History

Shortly after World War II, the United Nations Organization came into being and soon gave birth to several specialised agencies, one of which was the International Civil Aviation Organization (ICAO). The fact that ICAO was to make decisions on aviation policy without pilot representation immediately began to interest several pilots’ Associations. Airline pilots begun to realise that they were citizens of the world in many respects; their daily work took them across the boundaries of many countries, and they were often dependent upon distant municipalities or States to provide them with the facilities necessary for their personal safety and that of their passengers. They became, therefore, vitally concerned with national and international affairs related to aviation.

To exercise some control over these forces, pilots had to put themselves into a position of showing determined leadership, in aviation and to achieve this they had to organise on an international basis. This was the reason for the birth of IFALPA in April of 1948 during a conference of pilots’ associations held in London for the express purpose of providing a formal means for the airline pilots of the world to interact with ICAO.

The belief then was that the unique perspective of pilots operating in scheduled flying would be of critical benefit to the creation and adaptation of ICAO Standards and Recommended Practices (SARPs) through which ICAO regulates international civil aviation. This belief holds true today backed up by more than 60 years of experience. Today, IFALPA numbers over 100 Member Associations and represents in excess of 100,000 pilots from around the world.

 

What We Do

  1. Influencing ICAO

Virtually every part of the Operating Specifications of ICAO has been influenced to some degree by IFALPA pilot representatives. Our contribution may be as obvious as drafting entire sections of an Annex which is subsequently adopted, or as subtle as prevailing in an argument for or against a proposal in one of the many ICAO Technical Panels. In either case, the end result is the same. The continuing input of Line Pilots brings reality and balance to what can, at times, be the intensely political and economic process of drafting operating conditions for the airlines of the world. When procedural change does or does not happen, it is significant for aviation safety. Equally, when a technological solution for a persistent problem is finally mandated, safety is improved. In both instances, IFALPA pilots will have been involved for many hours, presenting and advocating the Air Line Pilot point of view.

  1. ANC Observer Status

IFALPA and IATA (International Air Transport Association) are the only organizations granted permanent observer status to the ICAO Air Navigation Commission (ANC). In terms of significance, this is one of the major accomplishments of IFALPA. Among the many activities of IFALPA, the one most familiar to our members is our accident investigation and support work. When an accident occurs, the accident investigation expertise of IFALPA is quickly brought into play. Both investigation and representation skills are frequently required, particularly if the flight crew has survived the accident. All pilots benefit by ensuring that all the factors underlying the accident are properly identified and resolved. If properly done, each accident investigation can result in significant improvements to aviation safety. Experience has shown that the involvement of properly trained and experienced Line Pilot investigators early in the investigation process is essential to a full and complete investigation and analysis.

  1. Co-operation between Member Associations

Positive co-operation between Member Associations in times of need continues to be an invaluable benefit of IFALPA membership. Many examples of this strength occur on a regular basis with IFALPA heading up teams of Incident and Accident Specialists, or giving other assistance, while providing these services at a moment’s notice.

  1. Criminal Prosecution

At the same time, a different set of IFALPA representatives have attempted to assist flight crew members who have been involved in an accident and face criminal, regulatory or disciplinary action as a result of an accident. The ability of the various Member Associations to provide assistance post-accident to their fellow IFALPA members may be considered one of the greatest benefits of membership in IFALPA to the average Line Pilot.

 

IFALPA Major Accomplisments

  1. Centreline Approach Lighting

In 1953, ICAO adopted a set of standards for centerline approach lighting developed by an IFALPA pilot.

  1. Cockpit Instrumentation

In 1955, as a result of an accident investigation, a Line Pilot was instrumental in the development of instrument comparators. A year on, the IFALPA Cockpit Standardisation Study Group adopted the “Basic T” instrument layout as its policy and convinced ICAO to make the design a worldwide standard for cockpit instrumentation layout. 

  1. Hijacking & Carriage of Dangerous Goods

As early as 1960, IFALPA was leading the industry in concern over aircraft hijacking and the carriage of dangerous goods. Obviously, these two subjects are still at the forefront of IFALPA’s concerns and continue to demand close attention. When dealing with such issues IFALPA are able to act in cooperation with industry and government. 

  1. Aircraft Manufacturer Relationships

IFALPA enjoys excellent relationships with Airbus, Boeing and Embraer and has had significant input into the design and modification of the newer products – a tradition which really goes back to the DC-8 introduction and continues with IFALPA’s input into the A380, EMB190 and B-787 aircraft. Representatives of the manufacturers are regular attendees at IFALPA technical committee meetings, where give-and-take on operation of the various models is encouraged for the benefit of all.

  1. Aerodrome Signage

On the subject of airports, the signage seen around the world today is largely the product of an IFALPA development project which was ultimately adopted by ICAO as the international standard. This standard was a quantum improvement in aids to navigation while taxiing and undoubtedly has prevented many a ground collision caused by disorientation on the airport surface.

  1. Extended Range Operations

IFALPA has worked with both European and North American regulators and manufacturers to develop comprehensive standards for Extended Range Operations for both twin engine aircraft and, more recently, all aircraft operating over remote Polar Regions. 

  1. RVSM & ACAS

IFALPA was fully involved in the initial implementation of Reduced Vertical Separation Minima (RVSM) in the North Atlantic, and the subsequent implementation by Eurocontrol in domestic European airspace. To address the risks of mid-air collisions, IFALPA has long advocated installation of ACAS equipment and mandatory procedures for both pilots and controllers when a Resolution Advisory is issued by the equipment. 

  1. Runway Incursions

The same can be said of ongoing efforts to minimize the risk of collisions on the airport surface, commonly called Runway Incursions. In addition to airport design, operating procedures and future technology, IFALPA has focused on airport capacity enhancement procedures which seemed to greatly increase the risk of collision by the reduction of safety margins inherent in the procedure design. 

  1. Aircraft Performance

In the field of performance, IFALPA has consistently injected the views of the pilot at all points and over a sustained period. In the 1950s operators failed to allow fully for the excessive effect of wet runways on jet aircraft. This effect was not satisfactorily compensated for by the discounting of reverse thrust credit and the result was an undue number of landing overruns or aborts on wet runways. It took from the 1950s until the 1990s to get wet-runway accountability universally into State airworthiness regulations. That it did get there was certainly due in large measure to IFALPA. 

  1. Approach and Runway Lighting

From the 1950s, progress in the field of lighting was steady and, to a large extent, made under conditions in full cooperation between IFALPA, IATA and the ICAO States. IFALPA contributed to these achievements step-by-step; from approach-lighting, to visual approach indicators, to narrow-gauge runway lights and, finally, to taxiway lighting. 

  1. ILS

What has been said regarding approach lighting can certainly be repeated in the case of the instrument landing system (ILS). That this guidance system was eventually installed at most international airports was, at least in part, due to vigorous worldwide campaigns by IFALPA. 

  1. Procedural Matters

IFALPA’s achievements in the operational field, though involving less conspicuous campaigns than those mentioned above, were nevertheless very significant. For example, IFALPA contributed greatly in developing procedures for co-ordinating responsibilities as between pilot and radar controller, and also drafting what eventually became the standard format for radiotelephone reporting. IFALPA secured, via ICAO, the systemised allocation of alpha-numeric call signs. 

  1. Security

After the events of September 11th 2001, IFALPA became a founding member of the Global Aviation Security Action Group (GASAG), an industry group established to co-ordinate the global aviation industry’s inputs to achieve an effective world-wide security system and ensure public confidence in civil aviation. GASAG was instrumental in providing a consolidated view on aviation security improvements, in particular regarding cockpit doors, Air Marshalls and training issues. IFALPA also actively participates in the ICAO AVSEC Panel and related working groups to develop amendments to ICAO Standards and Recommended Practices (SARPs) for Annex 17 (Security) and the AVSEC Manual. IFALPA members advise National and Regional Authorities on the development of operational and training guidelines in aviation security. 

  1. Airport Planning

The building of Hong Kong’s airport at Chek Lap Kok (CLK) was an opportunity for IFALPA to provide input into the planning of one of the world’s major new airports. The Federation worked hard for its say and, in doing so, highlighted many of its operational concerns worldwide. IFALPA made significant design inputs into the airport, including renaming the stands, apron markings and visual aid signs, and also had input into CLK’s airport docking guidance system. IFALPA influenced operational decisions at CLK through its involvement on a variety of groups and sub-groups, including: the New Airport Safety Committee (NASC), the Visual Aids Working Group (VAWG) and Windshear and Turbulence Warning System Working Group. IFALPA has also influenced airports elsewhere, with extensive work carried out by Committees and local pilot Associations in relation to Amsterdam’s Schipol and Germany’s Munich airports and, more recently, at Bangkok’s new airport. 

  1. ‘Critically Deficient’ Airspace

IFALPA, in late 1996, publicly made an issue on safety in the skies over Africa. This move spurred an international effort to improve safety and modernise the management of African airspace. In response to the concerns highlighted by the South African pilots, IFALPA formed a European/African (EUR/AFI) working group, which tasked a group of carefully selected pilots to formally record any and all shortcomings and deficiencies encountered during operations in African airspace. What evolved was a comprehensive database of general, enroute, terminal area and aerodrome problems that existed in Africa.

 

IFALPA Structure

Conference

Member Associations gather annually at Conference where the Federation Constitution By-Laws and Policies can be reviewed and revised if necessary, Conference has the ultimate authority within the Federation. Between Conferences, the Federation is governed by the Executive Board. They are responsible for the day-to-day running of the Federation, for making decisions as necessary affecting the implementation of policy, and for interpreting and applying the Constitution and By-Laws.

Executive Board

As the second highest governing body of the Federation, the Executive Board consists of the President, Deputy President, Executive Vice-President (Administration, Membership & Finance), Executive Vice-President (Professional & Government Affairs), Executive Vice-President (Technical & Safety Standards), and the Executive Vice-Presidents (Region).

Regional Vice-Presidents (RVPs)

There are five IFALPA Regional Groups and each is represented by an elected IFALPA Regional Vice-President to deal with industrial, social and technical matters, and to facilitate the implementation of IFALPA policies.

  1. Africa and Middle East (AFI/MID)
  2. Asia and the Pacific (ASIA/PAC)
  3. Caribbean and South America (CAR/SAM)
  4. Europe (EUR)
  5. North America (NAM)

 

IFALPA Members

In excess of 100,000 pilots in over 100 Member Associations around the world are currently in IFALPA Membership.

 

IFALPA Mission

The mission of IFALPA is to promote the highest level of aviation safety worldwide and to be the global advocate of the piloting profession; providing representation, services and support to both our members and the aviation industry.

This goal is realized through our core function, which is to represent our members by:

Interacting with international organizations to achieve the highest level of aviation safety.

  • Promoting the highest level of safety worldwide.
  • Developing common policies and positions and promoting the adoption of such policies by ICAO, regulatory authorities and the State of each Member Association.

Promoting and enhancing the role and status of professional pilots in ensuring the safety of the aircraft and well-being of passengers and goods entrusted to their care.

  • Promoting a viable and expanding air transport industry.
  • Providing training and education for the benefit of professional pilots. 

Providing Member Associations with services as needed.

  • Assisting in the organizational development of Member Associations.
  • Supporting Member Associations by providing expertise in the areas of Technical, Safety, Regulatory and Industrial issues.
  • Facilitating the exchange of information and the co-ordination of activities amongst Member Associations and Pilot Alliances through various forums such as Conference, Regional Meetings and Standing Committees.

 

IFALPA Standing Committee

Standing Committees are required to:

  • develop work programme items to Policy status for endorsement by the Membership;
  • develop immature policy into proposals of mature policy status and formulate proposals to update existing policy in accordance with the latest developments;
  • formulate briefing material and working papers for the Federation’s representatives attending international and other meetings;
  • suggest suitable Federation representatives for particular meetings;
  • advise the Executive Officers generally on matters pertaining to their specific area of interest and expertise.

 There are 10 IFALPA Standing Committees & 1 Advisory Group

  • Accident Analysis & Prevention Committee (AAP)
  • Administration, Membership and Finance Committee (AMF)
  • Aircraft Design and Operation (ADO)
  • Airport and Ground Environment (AGE)
  • Air Traffic Services (ATS)
  • Dangerous Goods Committee (DGC)
  • Helicopters (HEL)
  • Human Performance (HUPER)
  • Legal Advisory Group (LAG)
  • Professional & Government Affairs (PGA)
  • Security (SEC)  

 

  1. Accident Analysis & Prevention Committee (AAP)

 Mission

The AAP Committee ensures that safety investigation activities result in the development of prevention strategies that contribute to improved levels of safety. To achieve this, the Committee assesses the timely publication of final reports of accidents and their compliance with ICAO Annex 13, monitors the implementation of any safety recommendations, identifies and communicates unsafe trends and actively promotes the development of non-punitive safety programmes.

 

  1. Administration, Membership & Finance Committee (AMF)

Terms of Reference

  • To provide advice and/or recommendations to the Executive Board aimed at the resolution of Problems duly referred to or associated with the provisions of the Covenant of the Federation and the Constitution, By-Laws and Rules of Order, especially as they relate to:
    • The rights and obligations of Membership, including Membership participation and status; Application, Removal and Expulsion procedures; methods of Subscription calculation and payment
    • Federation Officers, including their election, duties and terms of reference
    • The organisational structure of the Federation
  • To progressively develop proposals for amendment of the Constitution, By-Laws and Rules of Order aimed at the resolution of problems duly referred to the Committee

 

  1. Aircraft Design & Operation Committee (ADO)

Core Activity

To improve air safety on a worldwide basis by influencing the design of air transport aircraft, their components, their performance and operation and to improve the working environment of the individual airline pilot, considering environmental aspects.

The task of the ADO Committee is to:

  • Detect, identify and monitor areas of development, where input is required to influence the design of technology and/or procedures, to ensure a safe operating environment for the airline pilot community, using the experience and expertise of its members.
  • Develop Policies and Policy Statements on these items, associated with the design and operation of aircraft used in international commercial operations, as broadly defined by the contents of ICAO Annexes 6 and 8, and related ICAO documents, to be presented to the respective regulating bodies, authorities and operators, as well as to the interested public.
  • Liaise with aircraft manufacturers, system designers and engineers, as well as scientific and regulating bodies, to enhance their understanding of the view and requirements of the airline pilots to improve the safety and operational effectiveness of international commercial aviation, considering the environment.
  • Develop proactive general statements and position papers for engineers, scientific and regulating bodies, manufacturers and Member Associations on present and future developments to be made available for the public.
  • Enhance the expertise of the members of the committee and their respective Member Associations by relaying information from scientific, engineering and manufacturing bodies.
  • Enhance the general standing of IFALPA, the airline pilots and their associations within the general public through the effort to improve air safety worldwide, as the stakeholder for the travelling public.

 

  1. Aerodrome & Ground Environment Committee (AGE)

The Committee’s Role

The Aerodrome and Ground Environment (AGE) Committee is primarily tasked with providing a liaison between the Airports community, IFALPA, and the International Civil Aviation Organization (ICAO).

The primary focus of our work is to ensure that airports around the world adhere to ICAO Annex 14 (Aerodrome Standards) and to provide input to ICAO on the improvement of the Annex 14 Standards and Recommended Practices (SARPs) as the industry evolves.

Our Mission

In order to provide a policy platform from which we can assess the requirements to update ICAO’s Annex 14, we have developed our own IFALPA Annex 14, detailing areas where we feel that improvement is needed.  Our mission is to lobby ICAO and the ICAO contracting States to implement our requirements, provide input at the individual airport level on improvements, and to inform our membership where there is a difference between what we advocate as the minimum level and what is currently being provided.

Our Relevance

Many States continue to file differences to the ICAO Annex 14 SARPs and as such our work is required and timely.  As new technologies emerge, such as Visual Docking Guidance Systems (VDGS), Engineered Materials Arresting Systems (EMAS) or Runway Status Lights (RWSL) we will work with the developers of such systems, to ensure that the needs of the aviation community are safely met, and if there are areas of non-compliance, that these are notified to the member associations so that additional cautions can be developed.

 

  1. Air Traffic Services Committee (ATS)

IFALPA monitors the Air Traffic Management (ATM) developments mainly through its ATS Committee. The standing members of the Committee meet twice yearly and actively represent the Federation at various forums in ICAO, Eurocontrol, EASA (the European Aviation Safety Agency), FAA, and RTCA participating as subject matter experts.

Terms of Reference

  • To prepare and discuss working papers which review, modify and amend IFALPA policy concerning all aspects of communication, navigation, surveillance and air traffic management (CNS/ATM) operations performed by air traffic service providers
  • To prepare and discuss working papers dealing with the provision of Meteorological information for aeroplanes and with the provision and operation of Search and Rescue services
  • To provide expert advice on air traffic, meteorological and search and rescue issues upon request to the Executive Board, other Committees, Advisory Groups, and interested external parties
  • To contribute to the development of relevant ICAO Standards, Recommended Practices, and associated guidance materials

The ATS committee provides oversight on the following documents ensuring that the additions and proposed amendments are harmonized and ensure global interoperability;

  • ICAO Annex 2, Rules of the Air
  • ICAO Annex 3, Meteorology
  • ICAO Annex 4, Aeronautical Charts for Use by the Pilot
  • ICAO Annex 5, Units of Measurement
  • ICAO Annex 10, Communications
  • ICAO Annex 11, Air Traffic Services
  • ICAO Annex 12, Search and Rescue
  • ICAO Annex 15, Aeronautical Information Services
  • ICAO PANS ATM (Doc. 4444) 

Mission
The mission of the ATS Committee is to improve aviation safety worldwide, to promote a single level of safety to the highest standards possible, applying the professional experience and expertise of the members of the committee. Develop global harmonized policies and positions and to promote the adoption of such policies by ICAO, the respective Regional Body. 

Coordination

The ATS Committee works very closely with IFALPA’s Member Associations through either individual Member Associations or regional groups such as ECA and ALPA International who in turn represent the global interests of their pilots in Europe and North America.

ICAO has published and is working on implementing global standards for future ATM in the Global Air Navigation Plan. These components for change are defined in the Air System Block Updates (ASBUs). The technologies, procedures, and regulations need be implemented on a common global basis by the respective regions. These changes need to not only improve safety but deliver operational improvements to accommodate projected traffic growth in aviation.

The ATS committee acts as a common coordination arena for the other IFALPA committees such as ADO, AGE, HUPER, and others to insure the entire pilot perspective is covered in these changes. They also act to be the international coordination between regional Member Associations’ work efforts where possible. For example, the European Cockpit Association’s work with the SESAR- JU should be harmonized with the work of the Air Line Pilots Association- Intl and their work with the FAA’s NEXTGEN program. The South Pacific’s work through AusALPA, NZALPA, and other MA’s needs to be harmonized with their counterparts in the northern hemisphere.

The overarching IFALPA document describing the common principles are found in the Future of Air Navigation v3.0 – 11POS03

 

  1. Dangerous Goods Committee (DGC)

Mission

The IFALPA Dangerous Goods Committee promotes the safe transportation of dangerous goods by air throughout the world.  Articles and substances capable of posing a risk to heath, safety, property or the environment are regulated as dangerous goods, and may be carried safely only when properly declared, packaged, labelled, and when the Pilot in Command is notified. IFALPA seeks to maintain the highest regulatory standards for the transport of declared dangerous goods, as well as preventing undeclared dangerous goods from being carried on aircraft.

Role

The Dangerous Goods Committee is composed of pilot volunteers from member associations throughout the world.  These committee members represent IFALPA at the United Nations (UN) Sub Committee of Experts on the Transport of Dangerous Goods, at the International Civil Aviation Organisation (ICAO) Dangerous Goods Panel, the International Air Transport Association (IATA) Dangerous Goods Board, the International Atomic Energy Agency (IAEA), the World Health Organization (WHO) and various other governmental and industry events worldwide.  The Committee Chairman is one of 17 voting members of the ICAO Dangerous Goods Panel.

 

  1. Helicopters Committee (HEL)

The IFALPA Helicopter Committee (HELCOM) focuses on all aspects of rotary wing related matters and advises the Executive Board on these issues, as well working in close co-operation with all of the other standing committees within the Federation. Commercial Helicopter operations around the world cover a wide variety of tasks from the transportation of offshore and onshore personnel, flight training and corporate work, to the more challenging search & rescue operations, police and emergency medical services, as well as advanced aerial work such as under slung load operations, crop spraying and power line inspection/repair.

Helicopter Accident Level

The accident level in helicopter transportation is still significantly greater than that found in fixed wing operations, and although the overall rate is slowly declining, it continues to be a major cause for concern. Among the reasons for this disparity, as identified by the International Helicopter Safety Team (IHEST), are a lack of training, an indigent safety culture and poor management. The goal of the HELCOM is to reduce this accident level by improving all areas of helicopter flight safety, and this remains our primary commitment.

Pilot Associations

The active members of today’s Committee come from Member Associations representing Helicopter Operations from around the world, and these pilot associations, via their technical committees, work continuously to improve air safety. Our Member Associations commonly have the same goal as most operators, having the belief that creating successful, stable companies with robust safety initiatives, is the best way forward for all concerned. The ‘grass roots’ voice of pilots can often bring a reality and balance to the difficult process of creating regulations which are intended to be workable, economically viable, and most importantly, deliver meaningful improvements to air safety.

Our Work

The HELCOM currently holds one main meeting per year, with the work of the committee being focused on ICAO in support of IFALPA’s representation on the Air Navigation Commission. In addition to this, we have representation on a number of influential rotary wing working groups/organisations and work closely with our colleagues on the European Cockpit Association Helicopter Working Group. Active pilot participation is paramount to us maintaining our commitment to make rotary wing operations as safe as is humanly possible.

 

  1. Human Performance Committee (HUPER)

Terms of Reference

  • To prepare and discuss working papers which review, modify and amend IFALPA policy
    concerning all aspects of;

    • Aero-Medicine,
    • Pilot Selection, Training, Licensing.
    • Human Factors in Aircraft Design, Procedures and Operations,
    • Human Factors in Incident / Accident Analysis,
  • Develop IFALPA policy by taking notice of findings of international research and recognised
    developments in human factor science and by interacting with other relevant IFALPA
    Standing Committees.
  • To provide expert advice on Human Performance issues upon request to the Executive Board, other Standing Committees, Advisory Groups, and interested External Parties

 

  1. Legal Advisory Group (LAG)

Role

To provide legal advice to the Federation as required by the Executive Board or Conference through:

  • Responding to requests for legal opinions and the development of positions on legal issues.
  • Undertaking specific legal projects assigned by the Executive Officers or Conference.
  • Providing legal support and advice to IFALPA’s representatives at International Organisations when requested and authorised to do so by the Executive Board.

Mission

To assist IFALPA in its mission to be the global voice of professional pilots, to promote the highest level of aviation safety world-wide and to provide representation, services and support to its Member Associations.

Relevance

The LAG consists of a mixture of legally trained pilots and qualified lawyers drawn from the IFALPA Member Associations. It has various functions:

1. Administrative

  • It oversees the collection and dissemination of practical legal advice and contact numbers for the use of members involved in accident or incidents away abroad.
  • It monitors legal developments in the Member Association countries for possible impact on the members, and advises accordingly, e.g. the introduction of random drug and alcohol testing.
  • It shares and compares the application of certain laws in different countries, e.g discrimination laws/labour laws for the mutual benefit of the LAG members. 

2. Legal Advice

  • It gives legal advice to other IFALPA committees on request.
  • It gives generic legal advice to Member Associations on request.
  • It provides general legal guidance to Member Associations on a proactive basis, e.g. the handling of drug and alcohol charges.

 3. Campaigning

  • In conjunction with IFALPA committees, it prepares lobbying material and presentations, attends international conferences and other meetings to further the aims of IFALPA, e.g. the campaign to see the universal adoption of Annex 13 and the legal protections contained therein.
  • It supports the campaigns of Member Associations where there has been a miscarriage of justice in the legal treatment of a pilot/s because of their work.

 

  1. Professional & Government Affairs Committee (PGA) 

Terms of Reference

The task of the Professional & Government Affairs Committee is to assist the Federation and its Member Associations in representing the airline pilots in industrial matters to the maximum extent possible. To achieve this task, the Committee will:

  • monitor and study industrial developments in the aviation industry which may impact the airline pilot and inform the Member Associations of these developments in the most appropriate way. This can be done by a presentation at a Professional & Government Affairs Committee meeting, by organising a seminar or any other suitable method
  • develop policies associated with industrial matters related to the profession of the airline pilot
  • compile, analyse and disseminate information on regulatory and contractual issues, using the information provided by the IFALPA Regional Bodies and the Member Associations
  • identify and develop negotiations tactics and skills and facilitate the training of these skills so that Member Associations may more easily achieve their industrial objectives
  • develop and facilitate any training as deemed appropriate by the Committee. The Professional & Government Affairs Committee Chairman is responsible, in close concert with the IFALPA Professional Affairs Consultant and the IFALPA staff, for the optimal functioning of the Professional & Government Affairs Committee
  • at the request of Member Associations, The Professional & Government Affairs Committee is able to give tailored support on specific issues

 

  1. Security (SEC)

Mission

The SEC Committee’s core function is to ensure the protection of all persons involved in civil aviation and the general public against acts of unlawful interference perpetrated on the ground or in flight. To achieve this, the Committee provides expert advice on security and facilitation issues, contributes to the development of relevant ICAO Standards, Recommended Practices and associated guidance materials, and reviews any new developments and technical solutions in the field of aviation security and facilitation.

 

( Sumber : http://ifalpa.org )